Happy Cat Kaoani

Selasa, 04 Oktober 2016

Kisah Si Pohon Hannoki (Bagian Kedua) oleh Sukeyuki Imanishi

Tersebutlah sebatang pohon Hannoki yang tumbuh di lapangan tempat latihan militer di kota Hiroshima. Di suatu pagi musim panas, sebuah bom atom dijatuhkan di atas Hiroshima dan pohon itu pun miring. Pada siang hari lapangan itu dipenuhi dengan orang-orang yang terluka. Hiroshima terus terbakar hingga malam hari. Burung-burung yang sayapnya terbakar berdulang berjatuhan dari dahan-dahan si pohon Hannoki…

Pagi pun tiba. Satu hari telah berlalu, dan kebanyakan orang-orang di sekelilingku sudah meninggal. Parit pun kini dipenuhi jasad-jasad yang saling bertumpuk satu sama lain. Sepanjang malam dalam mimpiku, aku mendengar suara bayi menangis. Tapi ternyata itu bukan mimpi, benar-benar ada sesosok bayi di dekat akarku. Entah kapan mereka sampai di situ. Si bayi ada dalam gendongan ibunya. Si ibu memakai sepatu kanvas dan celana kerja. Tidak kelihatan ada luka di tubuhnya, tapi ada handuk melilit di kepalanya. Bayi itu menempel di dada ibunya. Kelihatannya saja si ibu tidak terluka, tapi ternyata ia luka parah di kepala. Nampaknya ia kesulitan melihat.
"Mii-chan…Mii-chan…kau Mii-chan kecilku, kan?" ia terus menggumam. Ibu itu pasti meninggalkan bayi perempuan yang dipanggilnya ‘Mii-chan’ itu di rumah, lalu pergi keluar. Mungkin tepat saat itu peristiwa mengerikan tadi terjadi. Ibu---yang tidak bisa melihat dengan sempurna---itu mungkin mencari-cari di halaman rumah mereka dan beruntung; atau mungkin dia menemukan bayi itu, yang telah diselamatkan orang lain di rumahnya yang hancur, lalu sambil menggendongnya, ia lari sampai sejauh ini. Tapi ia tidak bisa melihat jelas wajah bayi ini, dan itu membuatnya khawatir serta ketakutan. Untungnya wajah si bayi tidak terluka, ada sedikit saja luka bakar di pinggulnya, dan ia hanya memakai celemek yang lusuh.
Suara ibu yang memanggil-manggil, "Mii-chan…Mii-chan…" tidak lagi terdengar. Ia tertidur pulas. Bayinya pun mulai menangis. Ibunya terbangun dan kembali memanggil-manggil namanya. Perlahan-lahan sang ibu mulai kehilangan kesadarannya.
Matahari perlahan meninggi, menyebarkan teriknya yang terasa membakar. Erangan orang-orang yang tidak bisa bergerak itu terdengar makin keras. Bayi itu tiba-tiba menangis keras, tapi tidak ada yang menolongnya. Ibunya tidak lagi bergerak. Payudaranya, yang sedari tadi dihisap bayinya, kini sudah mengeras. Sang ibu meninggal dengan bayi masih berada di gendongannya.
"Tolong! Siapa pun yang masih bisa berjalan, tolong kesini…"
Seumur hidupku, tidak pernah aku melihat kengerian yang seperti ini.

***
Siang itu menjelang petang. Akhirnya datanglah regu penolong. Tapi saking banyaknya orang sudah meninggal daripada yang masih hidup, mereka lebih banyak datang untuk mengambil jasad-jasad itu daripada memberikan pertolongan. Serdadu-serdadu itu rupanya dari Angkatan Laut. Mereka mengibarkan bendera palang merah kecil di salah satu dahanku, lalu mendirikan dua tenda besar. Dokter militer memeriksa mata setiap orang yang tengah terbaring seperti sedang memilih-milih ikan saja. Hanya mereka masih bernapas yang dibawa ke dalam tenda. Bayi Mii-chan yang sedang berada di dekat akarku dipisahkan dari mendiang ibunya, dan dibawa ke tenda. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, aku bisa mendengar suara bayi dari dalam tenda itu. Setiap kali suara itu terdengar, aku merasa lega, karena Mii-chan kecil telah diselamatkan.
Setelah sekitar satu pekan, sebuah kendaraan dengan lambang palang merah datang, dan bayi itu dibawa pergi bersama orang-orang yang terluka; hanya jasad-jasad tak bernyawa yang ditinggalkan. Di malam hari suasananya sepi, tapi sepertinya masih ada korban yang selamat entah dimana, karena sesekali masih terdengar erangan-erangan pelan. Di siang hari, orang-orang berdatangan dari kota untuk mencari teman atau kerabatnya. Mereka akan membolak-balik jasad-jasad yang tertelungkup sambil bergumam, "Bukan dia, ini juga bukan…"
Sekitar akhir musim panas, nyaris semua daun-daunku mati dan gugur. Tapi aku berusaha keras untuk bertahan. Lalu di musim semi aku mengeluarkan tunas-tunas kecil, tapi meskipun tunas itu sempat tumbuh, musim dingin tiba.
Setahun berlalu, lalu dua tahun…
Lapangan tempat latihan ini berubah menjadi lahan pertanian. Dimana-mana berdiri rumah-rumah sementara. Di malam yang panas, tiap kali aku dengar suara bayi dari rumah-rumah itu, aku teringat pada ibu yang terus bergumam, "Kau Mii-chan kecilku, kan?" sampai menghembuskan napas terakhir. Tapi kebanyakan warga yang datang dan tinggal di sini adalah orang-orang yang datang dari jauh. Tidak ada yang tahu tentang hari yang nahas itu. Tapi tetap saja, kadang-kadang ada tulang-belulang yang digali dari tanah di sekitar sini, dan orang-orang pun akan ramai.
Aku sudah kembali sehat, tumbuh tinggi, dan kuat. Burung-burung berdatangan. Kumbang-kumbang tanduk panjang juga datang dan membangun sarang di batang pohonku.
***
Beberapa tahun telah berlalu. Aku dikelilingi oleh bangunan-bangunan apartemen beton. Sewaktu pembangunan dimulai, kupikir akhirnya aku akan ditebang. Tapi suatu hari salah seorang pengawas pembangunan datang menengokku dan berkata, "Dulu orang bilang pohon atau rumput tidak akan tumbuh di Hiroshima selama 75 tahun lagi." Aku jadi bertanya-tanya, apa orang itu kenal denganku---ketika aku masih berdiri tegak sendiri di lapangan tempat latihan militer itu? Apakah ia tahu tentang lapangan yang menakutkan di hari nahas itu? Mungkin orang itu yang membangun taman kecil di sekelilingku. Aku tidak tahu pasti. Tapi karena itulah aku masih terus bertahan.
Aku sedikit lebih tinggi dari bangunan apartemen tiga lantai. Setiap hari, aku mendengar suara-suara yang berbeda. Di musim panas, aku bisa melihat jelas ke dalam rumah-rumah itu. Di balik jendela-jendela yang bentuknya sama itu, hiduplah bermacam-macam orang yang bicara tentang hal-hal yang berbeda.
Anak itu. Ah, iya…aku kan mau bicara tentang anak itu, tapi malah jadi melantur kemana-mana. Jadi gadis kecil---yang rambutnya ia direlakan untuk dipotong oleh kumbang tanduk panjang---itu, aku merasa dia itu sebenarnya si Mii-chan kecil yang diselamatkan dari bawah batang pohonku di hari yang nahas itu. Gadis itu tinggal di lantai tiga bangunan apartemen---di sebuah kamar bagian paling timur. Sepertinya mereka satu keluarga yang terdiri dari tiga orang; ayah, ibu, dan si gadis kecil. Tapi entah kenapa, gadis kecil itu sepertinya lebih banyak tinggal di rumah. Ia juga tidak memanggil wanita di rumah itu dengan sebutan ‘ibu’, melainkan ‘bibi’. Apa si kecil itu tidak tahu dengan melihat semua batang dan dahan-dahanku? Pastinya tidak…
Anak laki-laki itu selalu datang bermain bersama seorang teman sekolahnya. Keluarganya berjualan sayur, jadi sepulang sekolah ia datang ke apartemen ini untuk mengantar sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya.
"Selamat siang, Bu. Saya mengantar lobak daikon pesanannya."
Si anak laki-laki itu tahu betul kalau Mii-chan tinggal di rumah sendirian. Ia akan datang ke rumah ini paling akhir dan mengantarkan sayuran dengan mengucapkan kata-kata tadi.
"Selamat siang, Bu. Ini lobak daikon pesanannya."
Jawabannya selalu sama. "Kamu yakin lobak daikon ini tidak busuk?" Gayanya persis seperti seorang ibu rumah tangga.
Si anak laki-laki akan menjawab, "Oh tidak, Bu. Lobak ini sangat segar! Silahkan coba untuk makan malam nanti dan buktikan sendiri."
Lalu keduanya akan terbahak-bahak bersama. Anak laki-laki itulah yang selalu menemukan kumbang-kumbang tanduk panjang yang hidup di batang pohonku.
Suatu hari setelah mengantarkan sayuran, anak laki-laki itu datang dan memanggil, "Mii-chan… Mii-chan…ayo turun! Aku mau perlihatkan sesuatu yang menarik untukmu." Anak laki-laki itu memegang seekor kumbang tanduk panjang dengan titik-titik putih yang masih mengeluarkan bunyinya. Sejak itu, setiap kali ia datang, anak laki-laki itu akan memanggil turun Mii-chan, lalu membuat kumbang itu menggigiti rambutnya. Mii-chan awalnya akan menolak, tapi pada akhirnya lalu mengizinkan beberapa helai rambutnya digigit oleh kumbang itu. Tapi suatu hari, Mii-chan tidak lagi menolak sekali pun. Anak laki-laki itu---yang selalu berharap Mii-chan akan menolak dan lari---berkata, "Boleh aku membuat binatang ini memotong seluruh rambutmu?"
Mii-chan menarik keras beberapa helai ujung rambutnya dan berkata, "Boleh. Potong semua. Lebih banyak lagi."
Gadis itu terlihat lemah---yang belum pernah nampak sebelumnya. Mii-chan menatap anak laki-laki itu.
"Kau bodoh, Mii-chan. Ujung-ujungnya, kau nanti akan jadi pendeta!"
Bocah laki-laki itu menangis. Ia mendorong Mii-chan dan lari pulang tanpa menoleh sekali pun. Sejak saat itu, si anak laki-laki tukang sayur berhenti datang ke apartemen itu.
Satu bulan kemudian, Mii-chan tiba-tiba batuk berdarah karena udara dingin. Ia dibawa ke rumah sakit dan meninggal dunia

***
Si anak laki-laki penjual sayur mulai lagi mengirimkan sayur-sayuran ke apartemen itu hampir setiap hari. Di jalan pulang, ia akan berhenti di batang pohonku dan mencari kumbang tanduk panjang. Setiap kali ia menemukan seekor kumbang, ia akan membantingnya ke tanah sekuat tenaga sampai mati.
Pagi ini awan putih berarak di atasku. Itu pasti angin musim gugur. Seiring berjalannya waktu, aku semakin yakin kalau gadis itu pastinya Mii-chan…


Baca bagian pertama di sini.