Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Cetakan : II, Februari
2006
Jumlah Halaman : 111
Penerbit : Republika
Harga : Rp 21.000
ISBN :
979-3604-00-x
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada
dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.
"Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren
Mangkuyudan Solo dulu," kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan
jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu," ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku
pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin
menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan
diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja
dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian
tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan
air mata ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihan---benar
kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan
yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Tante Lia mengakui Raihana cantik,
"Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli!" kata tante
Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis
Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan
hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah. Di
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku
untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada
ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.
Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat
hidup, hati hampa tanpa cinta, Pesta pun meriah dengan empat grup rebana.
Lantunan shalawat Nabi pun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum
manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya
harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang
kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan
cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca
ayat-ayat-Nya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota
Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah
hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan
makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi masya Allah bibit cintaku belum
juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap
terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai
kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa
tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak
acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.
Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku
sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihana pun merasakan hal yang
sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka dia pun tanya, tetapi kujawab,
"Tidak apa-apa kok, Mbak. Mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus
belajar berumah tangga." Ada ke-kagetan yang kutangkap diwajah Raihana
ketika kupanggil 'mbak'.
"Kenapa Mas memanggilku 'Mbak', aku kan istrimu. Apa
Mas sudah tidak mencintaiku?" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.
"Wallahu a'lam," jawabku sekenanya.
Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama
kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku. "Kalau Mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas
tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana
untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang
bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini." Raihana
mengiba penuh pasrah.
Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi
karena kepatunganku.
Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan.
Kami hidup seperti orang asing. Tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan
segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah
habis Maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas
kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji
dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak
apa-apa?" tanyanya dengan perasaan khawatir. "Mas mandi dengan air
panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih," lanjutnya.
Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah
siap," kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar
mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri di depan pintu
membawa handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe." Aku diam saja. Aku
merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari
ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku
seperti yang dilakukan ibu. "Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin
diobati pakai apa, pakai balsam, minyak kayu putih, atau jamu?" tanya
Raihana sambil menuntunku ke kamar.
"Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang
harus kulakukan untuk membantu Mas."
"Biasanya dikerokin," jawabku lirih.
"Kalau
begitu kaos Mas dilepas ya, biar Hana kerokin," sahut Raihana sambil
tangannya melepas kaosku.
Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana
dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.
Setelah selesaidikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau.
Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi
tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al-Qur'an dengan khusyu. Aku
kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis
mesir titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia
mengundangku untuk makan malam di istananya. "Aku punya keponakan namanya
Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu," kata Ratu Cleopatra.
"Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok
dan berniat memperkenalkannya denganmu."
Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke
istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu
mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju,
belum sempat duduk, tiba-tiba, "Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas
belum shalat Isya," kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan
perasaan kecewa. "Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas
belum shalat Isya," lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru
selesai sholat malam. Meskipun hanya mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang
terputus. Aku jadi semakin tidak suka dengan dirinya, dialah pemutus harapanku
dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik
membangunkanku untuk shalat Isya?
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku
tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku
benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana.
Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona
gadis-gadis titisan Cleopatra.
"Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah.
Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang
bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang."
Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada zaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas
wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.
"Ma....maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,"
lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja.
"Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din...Dinda Hana!"
panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.
"Ya Mas!" sahut Hana langsung menghentikan
langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk
tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil 'dinda'. Matanya sedikit berbinar.
"Te...terima kasih...Di...dinda, kita berangkat bareng
kesana, habis shalat Dzhuhur, insya Allah," ucapku sambil menatap wajah
Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat
cerah, ada secercah senyum bersinar di bibirnya. "Terima kasih Mas, Ibu
kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar Dinda siapkan. Atau biar
Dinda saja yang memilihkan ya?" Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa. Ia tetap sabar
mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau
wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.Bah, lelaki macam apa
aku ini?---kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas
sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi
hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di
dunia ini.
Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah---kakak
sulung Raihana---membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan
Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh
bangga. "Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang
paling ideal dalam keluarga!" sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia
mertua dan ibundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya
berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan
ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik di kampusnya dan hafal Al-Qur'an lantas disebut ideal? Ideal bagiku
adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai
pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya
pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh
sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada
ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku
sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia
menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi
sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. "Sudah satu
tahun putra sulungku menikah, kok belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku
ingin sekali menimang cucu," kata ibuku. "Insya Allah tak lama lagi,
ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?" sahut
Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat
dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami
betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan
kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa.
Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia
semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta
tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak
itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan
lagi. Setiap saat nuraniku bertanya 'Mana tanggung jawabmu!' Aku hanya diam dan
mendesah sedih. "Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta,"
gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana
memasuki bulan ke enam. Raihana minta izin untuk tinggal bersama orang tuanya
dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke
rumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku
tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku
pamitan, Raihana berpesan, "Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita,
tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal,
nomor PIN-nya sama dengan tanggal pernikahan kita."
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega.
Setiap hari aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah
apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah
di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana.
Suatu hari aku pulang kehujanan, sampai rumah hari sudah petang. Aku merasa
tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan
perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan
mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan
selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam
enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum shalat Isya
dan terlambat shalat Shubuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu
aku tidak meninggalkan shalat Isya, dan tidak terlambat shalat Shubuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di
kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan
mutu dosen mata kuliah bahasa Arab. Diantara tutornya adalah profesor bahasa
Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir. Dalam
pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa Arab
dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman
hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.
"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah," jawabku.
"Dengan orang mana?"
"Orang Jawa."
"Pasti orang yang baik, iya kan? Biasanya pulang dari
Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalihah.
Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?"
"Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal
Al-Quran."
"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku."
"Kenapa dengan Bapak?"
"Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak
menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti
sekarang."
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Kamu tentu tahu gadis Mesir itu cantik-cantik, dan
karena terpesona dengan kecantikannya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke
Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus
dengan predkat jayyid---bagus, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari
Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang
bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh
cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan
menikah dengan siapapun kecuali dia.
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah
cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan
dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya
memilih yang kedua. Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang
memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak
mencari mahasiswi Al-Azhar yang hafal Al-Qur'an,shalihah, dan berjilbab. Itu
lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi
saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil
menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya
kembali ke Medan, saya minta agar aset yang di Mesir dijual untuk modal di
Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.
Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak
ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan
Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga
lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat.
Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian
berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik
ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap
kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai
dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai
masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika sayapengin
rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika
ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai
setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual
perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup
serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya
menyesal meletakkan kecantikan di atas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah.
Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil
dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis
bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia
mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan.
"Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta
kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir."
kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita
bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi
bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan
dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri.
Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak
satupun keluarganya yang membela diriku. Rupanya selama ini Yasmin sering
mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami
depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus
mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit,
ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang."
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak.
Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya
terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya.
Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap di hati. Dia istri yang sangatshalihah.
Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan
pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia.
Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala di
dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya?
Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia
ingin agar aku mencairkan tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan
ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan
pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku.
Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang
tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas
merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya
aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat
cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong....Dengan
rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi...ternyata surat-surat itu
adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku dzhalimi. Ia menulis, betapa
ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri
untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah-lah tempat ia
meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa
untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh
dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al-Qur'an.
Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok
ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri
hamba......" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa "Ya Allah inilah
hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu,
melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini
hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami
hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba
padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku
padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu
ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan
rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja
yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap
menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan
memuliakannya. Ya Allah, Engkau Maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu.
Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan
teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak
disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau."
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa
haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana
terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya
yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh
memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam
keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam
jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang
datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihana tiba-tiba begitu kuat
mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku
tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku
dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku
yang menetes sepanjang jalan.
Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku
meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat
kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran
dan ikut menangis. "Mana Raihana Bu?" Ibu mertua hanya menangis dan
menangis.
Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.
"Raihana...istrimu..istrimu dan anakmu yang
dikandungnya…."
"Ada apa dengan dia, Bu?"
"Dia telah tiada…."
"Ibu berkata apa?!"
"Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia
terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak
selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak
bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu
menderita. Dia minta kau meridhainya…"
Hatiku bergetar hebat. "Ke...kenapa ibu tidak memberi
kabar padaku?"
"Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah
mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada.
Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu
selama pelatihan. Jadi maafkanlah kami…."
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika
aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku,
dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia
telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf
dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan
bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih
baru di kuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama
dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru,
rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia
tiba-tiba gelap semua....... Gubraks! Gubraks! (TAMAT)