Komunikasi
politik (political
communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan
politik dan aktor-aktor politik atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan,
dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan,
komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa
dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan "yang
diperintah".
1. Komunikasi Politik pada Periode Orde Baru (1966-1998)
Terjadinya
krisis pilitik yang luar biasa, yaitu banyaknya demonstrasi mahasiswa, pelajar,
dan ormas-ormas underbow parpol yang hidup dalam tekanan selama
era demokrasi pemimpin, sehingga melahirkan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat)
yaitu:
·
Bubarkan PKI,
·
Bersihkan kabinet Dwikora dari PKI, dan
·
Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
Pemerintahan
Orde Baru lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi, dan pada sisi lain rezim
ini berupaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Pengalaman masa lalu
dengan demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah berakibat
berlarut-larutnya instabilitas politik sehingga negara tidak memikirkan
pembangunan ekonomi secara serius. Namun demikian, upaya untuk membangun stabilitas
tersebut dilakukan dengan mengekang hak-hak politik rakyat atau demokrasi.
Pada
awal pemerintahan Orde Baru, parpol dan media massa diberi kebebasan untuk
melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat. Namun sejak
dibentuknya format politik baru yang dituangkan dalam UU No. 15 dan 16 tahun
1969 (tentang pemilu dan susduk MPR/DPR/DPRD) menggirng masyarakat Indonesia ke
arah otoritarian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pengisian ⅓ kursi anggota MPR dan 1/5 anggota DPR dilakukan
melalui pengangkatan secara langsung tanpa melalui pemilu.
Kemenangan
Golkar pada pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan
sipil, karena Golkar sangat dominan, sementara partai-partai lain berada di
bawah pengawasan/kontrol pemerintah. Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar
menjadi partai hegemonik yang kemudian bersama ABRI dan
birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim Orde Baru untuk
mendominasi semua proses politik.
Pada
tahun 1973 pemerintah memaksakan penggabungan sembilan partai politik peserta
pemilu 1971 ke dalam dua parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
menggabungkan partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang
merupakan gabungan partai-partai nasionalis dan Kristen. Penggabungan (fusi)
ini mengakibatkan merosotnya perolehan suara kedua partai pada pemilu 1977,
sementara Golkar mendominasi perolehan suara. Dominasi Golkar ini terus
berlanjut hingga kemenangan terbesarnya diperoleh pada pemilu 1997.
Selama
Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti parpol dan lembaga perwakilan
rakyat berada dalma kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh kontrol dan penetrasi
birokrasi yang sangat kuat. Anggota DPR selalu dibayang-bayangi oleh mekanisme recall (penggantian anggota DPR karena
dianggap terlalu kritis atau karena pelanggaran lain), sementara parpol tidak
mempunyai otonomi internal.
Eksekutif
sangat kuat sehingga partisipasi politik dan kekuatan-kekuatan di luar
birokrasi sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh pencabutan
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat tidak diperkenankan
menyelenggarakan aktivitas sosial dan politik tanpa izin dari negara. Praktis
tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan kontrol dan
menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah Soeharto yang sangat
dominan.
Dari
pembahasan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Soeharto membangun
kekuasaannya dengan tiga pilar utama, yaitu ABRI, Golkar, dan birokrasi.
Soeharto membatasi hak-hak politik masyarakat dengan alasan stabilitas
keamanan. Pembangunan ekonomi di-ke-depankan, namun ruang kebebasan
dipersempit. Akibatnya, pemerintah Soeharto berjalan nyaris tanpa kontrol dari
masyarakat sehingga kemajuan ekonomi digerogoti oleh maraknya korupsi, kolusi,
dan nepotisme.
2. Komunikasi Politik Periode Reformasi
(1998-sekarang)
Sebagian
keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi
harus diakui sebagai prestasi besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Indikasi
keberhasilan tersebut antara lain tingkat pendapatan per kapita pada tahun 1977
mencapai angka hampir mendekati US$ 1200 dengan pertumbuhan sebesar 7%.
Ditambah pula meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat
dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun
keberhasilan ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru, tidak diimbangi oleh
pembangunan mental dan bidang-bidang lain. Akibat langsung yang dirasakan oleh
masyarakat menjelang runtuhnya Orde Baru adalah praktik Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) yang semakin marak dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini selain
mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan, juga telah menghancurkan
nilai-nilai kejujuran dan keadilan, etika politik, moral hukum, dasar-dasar
demokrasi, dan sendi-sendi agama.
Khusus
di bidang politik, krisis kepercayaan tersebut direspon oleh amsyarakat melalui
kelompok penekan (pressure
group) dengan mengadakan berbagai macam unjuk rasa/demokrasi yang
dipelopori oleh pelajar, mahasiswa, dosen, praktisi, LSM, dan politisi.
Gelombang demonstrasi yang menyuarakan 'reformasi' begitu deras mengalir dengan
dukungan dari berbagai kalangan yang semakin kuat dan meluas. Akhirnya, pada
tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri. Wakil
presiden BJ.
Habibie yang
menggantikan kepemimpinan nasional di Indonesia dilantik dihadapan Ketua MA dan
Ketua serta Wakil Ketua DPR/MPR.
Dinamika
politik pada periode era reformasi, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik
kenegaraan sebagai berikut.
1. Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak lebih luas terhadap
hak-hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang terwujud
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya, dikeluarkannya UU No.
12/1999 tentang Pegawai Negeri yang menjadi anggota parpol, UU No. 31/2002
tentang parpol, dan sebagainya.
2. Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa, dan
bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1998. Ketetapan MPR ini ditindak-lanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 30
tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
sebagainya.
3.
Lembaga legislatif dan organisasi sosial politik sudah memiliki
keberanian untuk menyatakan pendapatnay terhadap eksekutif yang cenderung lebih
seimbang dan proporsional.
4.
Lembaga tertinggi negara (MPR) telah berani mengambil
langkah-langkah politik melalui pelaksanaan siding tahunan dengan menuntut
adanya laporan kemajuan kerja (progress
report) semua lembaga tinggi negara, amandemen terhadap UUD 1945,
pemisahan jabatan antara ketua DPR dan MPR, dan sebagainya.
5. Media massa diberikan kebebasan dalam menentukan tugas
jurnalistiknya secara profesional tanpa ada rasa ketakutan untuk dicabut surat
izin penerbitannya. Bahkan insan wartawan diberikan kebebasan pula untuk
membentuk organisasi profesi sesuai dengan aspirasi dan tujuannya.
6. Satu hal yang membanggakan kita dalam reformasi politik adalah
dengan adanya pembatasan jabatan presiden, dan untuk pemilu 2004 presiden dan
wakil presiden tidak dipilih algi oleh MPR melainkan dipilih langsung oleh
rakyat. Demikian juga untuk anggota legislatif, mereka telah diketahui secara
terbuka oleh masyarakat luas. Selain itu, dibentuk pula Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) untuk mengakomodasi aspirasi daerah.
3. Quo Vadis Gerakan Reformasi
Peralihan
kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menimbulkan sejumlah reaksi dalam
masyarakat. Namun, menurut Sartono Kartodirdjo, peralihan itu "baru satu
fase dari reformasi". Jadi, yang lebih penting bahwa reformasi itu sendiri
perlu dilaksanakan sampai tuntas. Bagaimana melembagakan sistem politik,
demokratisasi, pemberantasan KKN.
Hal
lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana meng-introduksi (memasukkan) Trias
Politica dalam
kehidupan sosial dan politik Indonesia. Sebab, perumus UUD 1945, baik Bung
Karno, Sjahrir, sampai dengan Soepomo masih "alergi terhadap Trias
Politica". Mungkin konteksnya karena UUD 1945 itu disusun pada
zaman Jepang. Sifat Jepang yang militeristis, sering disebut fasistis, memaksa
penyusun UUD 1945 yang juga merupakan pendiri negara menyesuaikan diri.
Pemikiran Trias Politica mungkin tidak diterima dalam konteks
waktu itu sehingga susunan bagian-bagian UUD 1945 tidak sepenuhnya mencerminkan
gagasan pemisahan kekuasaan dalam Trias Politica.
Disamping
itu, berkuasanya Soeharto selama + 32 tahun (1966-1998) menunjukkan tidak
bekerjanya mekanisme politik dan pergantian kepemimpinan. Hal itu tidak lepas
dari kenyataan karena lembaga-lembaga negara dan partai politik berada di bawah
kendali Soeharto. Selain itu, hak-hak sosial dan politk rakyat juga dipasung
sehingga praktis posisi rakyat terhadap negara menjadi lemah.
Reformasi
yang bertolak dari tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998 memberi satu
harapan baru bagi berkembangnya sistem politik yang demokratis. Partisipasi
politik masyarakat berkembang dengan baik, kebebasan pers dapat pula kita
nikmati, sementara daerah-daerah kini menikmati otonomi.
Walaupun
demikian, masih banyak persoalan yang belum terselesaikan. Belum semua
kerusakan bangsa dan negara yang diakibatkan oleh otoritarianisme dapat
diperbaiki. Persoalan penegakan hukum dan pemberantasan KKN---misalnya---adalah
agenda yang belum terwujud dengan baik hingga sekarang. Bahkan kini banyak
pihak mempertanyakan ke mana arah reformasi (Quo
Vadis Reformasi).
Di
samping itu, peristiwa "lengser
keprabon" itu merupakan suatu tanda bahwa sistem politik di
Indonesia dalam menyelenggarakan negara kebangsaan modern belum sepenuhnya
melembaga. Dalam arti, sistem politik belum diterima masyarakat dan masyarakat
pun tidak menyikapi itu sebagai situasi yang wajar. Bagaimanapun, mundurnya
Soeharto setelah 32 tahun berkuasa menimbulkan optimism baru bagi perubahan dan
reformasi di segala bidang. Masih banyak yang harus dipikirkan dan
diperjuangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Sumber:
Budiyanto. Kewarganegaraan untuk SMA kelas X.
2004. Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar