Happy Cat Kaoani

Selasa, 06 Juli 2010

Komunikasi Politik di Era Orde Baru dan Reformasi


Komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan "yang diperintah".

1. Komunikasi Politik pada Periode Orde Baru (1966-1998)
Terjadinya krisis pilitik yang luar biasa, yaitu banyaknya demonstrasi mahasiswa, pelajar, dan ormas-ormas underbow parpol yang hidup dalam tekanan selama era demokrasi pemimpin, sehingga melahirkan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat) yaitu:

·         Bubarkan PKI,
·         Bersihkan kabinet Dwikora dari PKI, dan
·         Turunkan harga/perbaikan ekonomi.

Pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi, dan pada sisi lain rezim ini berupaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Pengalaman masa lalu dengan demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah berakibat berlarut-larutnya instabilitas politik sehingga negara tidak memikirkan pembangunan ekonomi secara serius. Namun demikian, upaya untuk membangun stabilitas tersebut dilakukan dengan mengekang hak-hak politik rakyat atau demokrasi.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, parpol dan media massa diberi kebebasan untuk melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat. Namun sejak dibentuknya format politik baru yang dituangkan dalam UU No. 15 dan 16 tahun 1969 (tentang pemilu dan susduk MPR/DPR/DPRD) menggirng masyarakat Indonesia ke arah otoritarian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pengisian ⅓ kursi anggota MPR dan 1/5 anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung tanpa melalui pemilu.

Kemenangan Golkar pada pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan sipil, karena Golkar sangat dominan, sementara partai-partai lain berada di bawah pengawasan/kontrol pemerintah. Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar menjadi partai hegemonik yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim Orde Baru untuk mendominasi semua proses politik.

Pada tahun 1973 pemerintah memaksakan penggabungan sembilan partai politik peserta pemilu 1971 ke dalam dua parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggabungkan partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan partai-partai nasionalis dan Kristen. Penggabungan (fusi) ini mengakibatkan merosotnya perolehan suara kedua partai pada pemilu 1977, sementara Golkar mendominasi perolehan suara. Dominasi Golkar ini terus berlanjut hingga kemenangan terbesarnya diperoleh pada pemilu 1997.

Selama Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti parpol dan lembaga perwakilan rakyat berada dalma kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh kontrol dan penetrasi birokrasi yang sangat kuat. Anggota DPR selalu dibayang-bayangi oleh mekanisme recall (penggantian anggota DPR karena dianggap terlalu kritis atau karena pelanggaran lain), sementara parpol tidak mempunyai otonomi internal.

Eksekutif sangat kuat sehingga partisipasi politik dan kekuatan-kekuatan di luar birokrasi sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas sosial dan politik tanpa izin dari negara. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan kontrol dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah Soeharto yang sangat dominan.

Dari pembahasan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Soeharto membangun kekuasaannya dengan tiga pilar utama, yaitu ABRI, Golkar, dan birokrasi. Soeharto membatasi hak-hak politik masyarakat dengan alasan stabilitas keamanan. Pembangunan ekonomi di-ke-depankan, namun ruang kebebasan dipersempit. Akibatnya, pemerintah Soeharto berjalan nyaris tanpa kontrol dari masyarakat sehingga kemajuan ekonomi digerogoti oleh maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

2. Komunikasi Politik Periode Reformasi (1998-sekarang)
Sebagian keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi harus diakui sebagai prestasi besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan tersebut antara lain tingkat pendapatan per kapita pada tahun 1977 mencapai angka hampir mendekati US$ 1200 dengan pertumbuhan sebesar 7%. Ditambah pula meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Namun keberhasilan ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru, tidak diimbangi oleh pembangunan mental dan bidang-bidang lain. Akibat langsung yang dirasakan oleh masyarakat menjelang runtuhnya Orde Baru adalah praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang semakin marak dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini selain mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan, juga telah menghancurkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, etika politik, moral hukum, dasar-dasar demokrasi, dan sendi-sendi agama.

Khusus di bidang politik, krisis kepercayaan tersebut direspon oleh amsyarakat melalui kelompok penekan (pressure group) dengan mengadakan berbagai macam unjuk rasa/demokrasi yang dipelopori oleh pelajar, mahasiswa, dosen, praktisi, LSM, dan politisi. Gelombang demonstrasi yang menyuarakan 'reformasi' begitu deras mengalir dengan dukungan dari berbagai kalangan yang semakin kuat dan meluas. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri. Wakil presiden BJ. Habibie yang menggantikan kepemimpinan nasional di Indonesia dilantik dihadapan Ketua MA dan Ketua serta Wakil Ketua DPR/MPR.
Dinamika politik pada periode era reformasi, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut.

1.   Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya, dikeluarkannya UU No. 12/1999 tentang Pegawai Negeri yang menjadi anggota parpol, UU No. 31/2002 tentang parpol, dan sebagainya.
2.      Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa, dan bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No. IX/MPR/1998. Ketetapan MPR ini ditindak-lanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya.
3.      Lembaga legislatif dan organisasi sosial politik sudah memiliki keberanian untuk menyatakan pendapatnay terhadap eksekutif yang cenderung lebih seimbang dan proporsional.
4.      Lembaga tertinggi negara (MPR) telah berani mengambil langkah-langkah politik melalui pelaksanaan siding tahunan dengan menuntut adanya laporan kemajuan kerja (progress report) semua lembaga tinggi negara, amandemen terhadap UUD 1945, pemisahan jabatan antara ketua DPR dan MPR, dan sebagainya.
5.  Media massa diberikan kebebasan dalam menentukan tugas jurnalistiknya secara profesional tanpa ada rasa ketakutan untuk dicabut surat izin penerbitannya. Bahkan insan wartawan diberikan kebebasan pula untuk membentuk organisasi profesi sesuai dengan aspirasi dan tujuannya.
6.     Satu hal yang membanggakan kita dalam reformasi politik adalah dengan adanya pembatasan jabatan presiden, dan untuk pemilu 2004 presiden dan wakil presiden tidak dipilih algi oleh MPR melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Demikian juga untuk anggota legislatif, mereka telah diketahui secara terbuka oleh masyarakat luas. Selain itu, dibentuk pula Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengakomodasi aspirasi daerah.

3. Quo Vadis Gerakan Reformasi
Peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menimbulkan sejumlah reaksi dalam masyarakat. Namun, menurut Sartono Kartodirdjo, peralihan itu "baru satu fase dari reformasi". Jadi, yang lebih penting bahwa reformasi itu sendiri perlu dilaksanakan sampai tuntas. Bagaimana melembagakan sistem politik, demokratisasi, pemberantasan KKN.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana meng-introduksi (memasukkan) Trias Politica dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia. Sebab, perumus UUD 1945, baik Bung Karno, Sjahrir, sampai dengan Soepomo masih "alergi terhadap Trias Politica". Mungkin konteksnya karena UUD 1945 itu disusun pada zaman Jepang. Sifat Jepang yang militeristis, sering disebut fasistis, memaksa penyusun UUD 1945 yang juga merupakan pendiri negara menyesuaikan diri. Pemikiran Trias Politica mungkin tidak diterima dalam konteks waktu itu sehingga susunan bagian-bagian UUD 1945 tidak sepenuhnya mencerminkan gagasan pemisahan kekuasaan dalam Trias Politica.

Disamping itu, berkuasanya Soeharto selama + 32 tahun (1966-1998) menunjukkan tidak bekerjanya mekanisme politik dan pergantian kepemimpinan. Hal itu tidak lepas dari kenyataan karena lembaga-lembaga negara dan partai politik berada di bawah kendali Soeharto. Selain itu, hak-hak sosial dan politk rakyat juga dipasung sehingga praktis posisi rakyat terhadap negara menjadi lemah.

Reformasi yang bertolak dari tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998 memberi satu harapan baru bagi berkembangnya sistem politik yang demokratis. Partisipasi politik masyarakat berkembang dengan baik, kebebasan pers dapat pula kita nikmati, sementara daerah-daerah kini menikmati otonomi.

Walaupun demikian, masih banyak persoalan yang belum terselesaikan. Belum semua kerusakan bangsa dan negara yang diakibatkan oleh otoritarianisme dapat diperbaiki. Persoalan penegakan hukum dan pemberantasan KKN---misalnya---adalah agenda yang belum terwujud dengan baik hingga sekarang. Bahkan kini banyak pihak mempertanyakan ke mana arah reformasi (Quo Vadis Reformasi).

Di samping itu, peristiwa "lengser keprabon" itu merupakan suatu tanda bahwa sistem politik di Indonesia dalam menyelenggarakan negara kebangsaan modern belum sepenuhnya melembaga. Dalam arti, sistem politik belum diterima masyarakat dan masyarakat pun tidak menyikapi itu sebagai situasi yang wajar. Bagaimanapun, mundurnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa menimbulkan optimism baru bagi perubahan dan reformasi di segala bidang. Masih banyak yang harus dipikirkan dan diperjuangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Sumber: Budiyanto. Kewarganegaraan untuk SMA kelas X. 2004. Jakarta: Erlangga.






Kode Smiley Untuk Komentar


:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar