Waktu kecil, kita semua pasti
punya cita-cita. Dokter, polisi, tentara, insinyur dan segala profesi keren
yang disebut cita-cita kita tuliskan dalam kertas diari, kemudian ditempel
dalam kamar atau tersimpan dalam laci. Seiring berlalunya waktu, perlahan
cita-cita yang kita impikan terlupakan---karena kesibukan yang memang jauh dari
yang kita cita-citakan sebelumnya.
Saya sendiri kurang paham mengapa
cita-cita itu yang sangat populer di kalangan anak-anak. Mungkin mereka merasa
keren melihat jas putih dan stetoskop dilingkarkan di leher dan memeriksa pasien
dengan teliti (bagi dokter)---atau mungkin mereka ingin menyuntik orang yang lewat (emang Susan? ), atau mereka takjub bagaimana seorang polisi dengan
seragamnya mengatur lalu lintas dan membantu orang-orang yang menyeberang jalan,
atau seorang insinyur seperti Pak Habibie yang mampu membuat pesawat terbang.
Saat kecil, cita-cita yang saya
impikan adalah menjadi seorang dokter---cita-cita standar yang diimpikan semua
anak hingga saat ini. Pelan-pelan saya kemudian menyadari, bahwa untuk menjadi
seorang dokter, yang diperlukan adalah kecerdasan otak tingkat tinggi serta
biaya yang fantastis. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ‘membunuh’ cita-cita
itu, mengganti dengan yang menurut saya lebih memungkinkan untuk dijangkau dari
segi biaya dan otak.
***
Pertama kali saya mahir membaca menjelang
masuk SD. Yang mengajari saya adalah ibu. Pernah suatu ketika---saat saya belum
mahir membaca---saya membaca “ibu minum
susu” karena saya hanya melihat gambar seseorang minum susu ditambah dengan
huruf (i), huruf (b), dan huruf (u); sehingga saya berkesimpulan bahwa ibu
sedang minum susu hanya melihat dari gambar.
Ketika saya telah mahir membaca,
saya pun jadi keranjingan untuk membaca apa saja. Kadang-kadang saya membaca
spanduk-spanduk yang bertebaran di sepanjang jalan; membaca koran bekas dari
bungkusan cabai, tomat, atau putu la’bu (makanan khas kota Makassar).
Saat saya diajak ke kantor ibu, saya pasti semangat. Kantor-kantor---utamanya
kantor pemerintahan---biasanya berlangganan koran. Sudah pasti saya akan merasa
puas untuk membaca apa saja info yang update. Jika ada teman ibu yang
sedang membaca, saya pasti akan jongkok untuk membaca info yang ada di halaman
depan (kasian amat yak!). Saat sepi, biasanya saya cepat-cepat memasukkan koran
tersebut ke dalam tas ransel---setelah memeriksa halamannya yang sudah lengkap.
Saat di rumah, saya akan
meluangkan waktu untuk membaca koran tersebut. Semua bagian dari koran tersebut
akan saya baca hingga tuntas. Jika ada kata-kata yang sulit, saya akan mencari maknanya
di kamus. Di masa itu belum ada internet, dan hanya segelintir orang yang
memiliki komputer.
Kadang-kadang, saya juga sering
membaca buku pegangan milik abang saya---yang waktu itu kelas III (tiga) SD.
Buku yang sering saya baca pada saat itu adalah buku PPKn dan Bahasa Indonesia
terbitan Balai Pustaka. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga abang saya lulus
dari SD (kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama) dan saya sendiri duduk
di kelas IV (empat). Waktu itu, bacaan wajib saya pun bertambah satu, yakni
Ilmu Pengetahuan Sosial. Waktu itu, saya sama sekali tidak sadar bahwa kelak hal
yang seperti ini berdampak pada kehidupan saya di kemudian hari.
***
Kebiasaan menulis sebenarnya
telah tumbuh sejak saya duduk di kelas V (lima). Saya waktu itu menulis di buku
harian, dan itu saya lakukan hampir tiap hari. Saya menulis apa saja; tentang
kejadian hari itu, apa yang saya rasakan, dan segala hal yang ingin saya capai
saat saya dewasa nanti. Pribadi saya memang tertutup, sehingga saya tidak
memiliki banyak teman.
Di masa itu, saya juga menyukai
serial Detektif Conan. Di hari Minggu, saya pasti akan duduk manis di depan
televisi---menunggu acara itu diputar di Indosiar. Begitu saya tahu bahwa versi
komiknya ada, saya pun akhirnya mencari di toko buku. Kebiasaan berburu komik
Conan ini masih berlanjut hingga saat ini---meski sekarang telah tersedia situs
online untuk membaca komik seri terbaru. Dan akhirnya, saya pun memutuskan
untuk mengejar cita-cita menjadi seorang penulis atau detektif (atau bisa jadi
keduanya: penulis cerita detektif).
***
Satu hal yang patut saya syukuri
bahwa kedua orang tua saya---utamanya abah---tidak pernah “menitipkan” obsesi
mereka pada kami. Apapun yang ingin kami lakukan, mereka sangat mendukung,
karena mereka berprinsip bahwa kami-lah yang akan menjalani, sehingga kami
dibebaskan untuk memilih menjadi apa di kemudian hari.
Seringkali, kita mendengar cerita
tentang orang tua yang memaksa anaknya untuk memasuki jurusan tertentu, agar
kelak mereka bisa menjadi “orang”. Padahal, tanpa mereka sadari hal tersebut
membuat anak menjadi tertekan, dan akhirnya membuat mereka layu sebelum berkembang.
Saya bukannya menggurui, tapi alangkah baiknya selama kegiatannya positif,
sebagai orang tua seharusnya mereka mendukung. Jika anak kita sukses, bukankah
nama yang akan pertama kali mereka sebut adalah nama orang tua?
Terakhir, pesan saya untuk
teman-teman yang sedang mengejar atau akan menempuh cita-cita; jangan pernah
menyerah, sebab jalan akan selalu terbuka bagi mereka yang terus berjuang
meraih mimpi.
Keep spirit!!