Happy Cat Kaoani

Selasa, 10 Maret 2015

Cita-cita

Waktu kecil, kita semua pasti punya cita-cita. Dokter, polisi, tentara, insinyur dan segala profesi keren yang disebut cita-cita kita tuliskan dalam kertas diari, kemudian ditempel dalam kamar atau tersimpan dalam laci. Seiring berlalunya waktu, perlahan cita-cita yang kita impikan terlupakan---karena kesibukan yang memang jauh dari yang kita cita-citakan sebelumnya.

Saya sendiri kurang paham mengapa cita-cita itu yang sangat populer di kalangan anak-anak. Mungkin mereka merasa keren melihat jas putih dan stetoskop dilingkarkan di leher dan memeriksa pasien dengan teliti (bagi dokter)---atau mungkin mereka ingin menyuntik orang yang lewat (emang Susan? ), atau mereka takjub bagaimana seorang polisi dengan seragamnya mengatur lalu lintas dan membantu orang-orang yang menyeberang jalan, atau seorang insinyur seperti Pak Habibie yang mampu membuat pesawat terbang.

Saat kecil, cita-cita yang saya impikan adalah menjadi seorang dokter---cita-cita standar yang diimpikan semua anak hingga saat ini. Pelan-pelan saya kemudian menyadari, bahwa untuk menjadi seorang dokter, yang diperlukan adalah kecerdasan otak tingkat tinggi serta biaya yang fantastis. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ‘membunuh’ cita-cita itu, mengganti dengan yang menurut saya lebih memungkinkan untuk dijangkau dari segi biaya dan otak.

***
Pertama kali saya mahir membaca menjelang masuk SD. Yang mengajari saya adalah ibu. Pernah suatu ketika---saat saya belum  mahir membaca---saya membaca “ibu minum susu” karena saya hanya melihat gambar seseorang minum susu ditambah dengan huruf (i), huruf (b), dan huruf (u); sehingga saya berkesimpulan bahwa ibu sedang minum susu hanya melihat dari gambar.

Ketika saya telah mahir membaca, saya pun jadi keranjingan untuk membaca apa saja. Kadang-kadang saya membaca spanduk-spanduk yang bertebaran di sepanjang jalan; membaca koran bekas dari bungkusan cabai, tomat, atau putu la’bu (makanan khas kota Makassar). Saat saya diajak ke kantor ibu, saya pasti semangat. Kantor-kantor---utamanya kantor pemerintahan---biasanya berlangganan koran. Sudah pasti saya akan merasa puas untuk membaca apa saja info yang update. Jika ada teman ibu yang sedang membaca, saya pasti akan jongkok untuk membaca info yang ada di halaman depan (kasian amat yak!). Saat sepi, biasanya saya cepat-cepat memasukkan koran tersebut ke dalam tas ransel---setelah memeriksa halamannya yang sudah lengkap.

Saat di rumah, saya akan meluangkan waktu untuk membaca koran tersebut. Semua bagian dari koran tersebut akan saya baca hingga tuntas. Jika ada kata-kata yang sulit, saya akan mencari maknanya di kamus. Di masa itu belum ada internet, dan hanya segelintir orang yang memiliki komputer.

Kadang-kadang, saya juga sering membaca buku pegangan milik abang saya---yang waktu itu kelas III (tiga) SD. Buku yang sering saya baca pada saat itu adalah buku PPKn dan Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga abang saya lulus dari SD (kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama) dan saya sendiri duduk di kelas IV (empat). Waktu itu, bacaan wajib saya pun bertambah satu, yakni Ilmu Pengetahuan Sosial. Waktu itu, saya sama sekali tidak sadar bahwa kelak hal yang seperti ini berdampak pada kehidupan saya di kemudian hari.

***
Kebiasaan menulis sebenarnya telah tumbuh sejak saya duduk di kelas V (lima). Saya waktu itu menulis di buku harian, dan itu saya lakukan hampir tiap hari. Saya menulis apa saja; tentang kejadian hari itu, apa yang saya rasakan, dan segala hal yang ingin saya capai saat saya dewasa nanti. Pribadi saya memang tertutup, sehingga saya tidak memiliki banyak teman.

Di masa itu, saya juga menyukai serial Detektif Conan. Di hari Minggu, saya pasti akan duduk manis di depan televisi---menunggu acara itu diputar di Indosiar. Begitu saya tahu bahwa versi komiknya ada, saya pun akhirnya mencari di toko buku. Kebiasaan berburu komik Conan ini masih berlanjut hingga saat ini---meski sekarang telah tersedia situs online untuk membaca komik seri terbaru. Dan akhirnya, saya pun memutuskan untuk mengejar cita-cita menjadi seorang penulis atau detektif (atau bisa jadi keduanya: penulis cerita detektif).

***
Satu hal yang patut saya syukuri bahwa kedua orang tua saya---utamanya abah---tidak pernah “menitipkan” obsesi mereka pada kami. Apapun yang ingin kami lakukan, mereka sangat mendukung, karena mereka berprinsip bahwa kami-lah yang akan menjalani, sehingga kami dibebaskan untuk memilih menjadi apa di kemudian hari.

Seringkali, kita mendengar cerita tentang orang tua yang memaksa anaknya untuk memasuki jurusan tertentu, agar kelak mereka bisa menjadi “orang”. Padahal, tanpa mereka sadari hal tersebut membuat anak menjadi tertekan, dan akhirnya membuat mereka layu sebelum berkembang. Saya bukannya menggurui, tapi alangkah baiknya selama kegiatannya positif, sebagai orang tua seharusnya mereka mendukung. Jika anak kita sukses, bukankah nama yang akan pertama kali mereka sebut adalah nama orang tua?

Terakhir, pesan saya untuk teman-teman yang sedang mengejar atau akan menempuh cita-cita; jangan pernah menyerah, sebab jalan akan selalu terbuka bagi mereka yang terus berjuang meraih mimpi.

Keep spirit!!


Balikpapan, 11032015 at 12.48 p.m.

Peristiwa Hukum yang Kurang Menyenangkan

Postingan ini sebetulnya sudah lama, dan pertama kali saya upload lewat Facebook. Monggo disimak.

Mungkin ini juga karena doa saya sama Tuhan, supaya saya bisa menjadi sarjana hukum yang baik. Yah, harapan saya semoga teman-teman tidak mengalami nasib yang sama seperti saya. #amin

Waktu itu tanggal 7 Desember 2012, kurang lebih pukul 04.30 p.m.. Saya habis nonton film Hello Goodbye di Cinema 21 Mall Panakkukang (sendirian). Dan seperti biasa, saya buta arah (lagi). Bayangkan, saya sudah keliling selama 15 menit buat nyari pintu keluar yang ada di lantai satu. Di masa pencarian itulah, saya (apesnya) bertemu dengan salah seorang Sales Promotion Boy (SPB) dari "Oriental Home Living". Saya sudah berusaha mempercepat langkah (lebih tepatnya setengah berlari ), karena saya pikir pasti menawarkan produk (lagi) dan segala tetek bengeknya. Tapi rupanya, dia lebih lihai membaca gestur tubuh saya (yang menampakkan penolakan dengan terang-terangan). Saya pun diajak mampir ke toko tersebut. Sebetulnya sih, saya sudah punya firasat bakal ditipu, tapi toh tetap saja saya penasaran. Saya pikir, mungkin ini bermanfaat bagi nusa dan bangsa Republik Indonesia. #merdeka *nggak nyambung*

Ternyata, waktu itulah dia langsung beraksi. Saya kemudian dijelaskan tentang produknya dengan cepat, tepat, dan efisien (saking cepetnya ngomong, saya nggak bisa mencerna dengan baik apa yang dia bilang). Saya kemudian ditawari suvenir berupa alarm. Sebetulnya saya sudah menampakkan mimik ingin pulang, tapi rupanya nih cowok lihai banget. Dia pun langsung menawarkan kertas dengan sangat cepat---dimana kita disuruh memilih huruf A, B, C, atau D. Saya nggak tahu isinya apa aja, tapi waktu itu saya pilih huruf D. SPB itu langsung menampakkan mimik heran (yang saya semakin yakin kalo itu adalah penipuan berencana). Si SPB tersebut (namanya Erwin) memperlihatkan kepada temannya, kemudian temannya menjelaskan bahwa sepertinya ada kesalahan dalam pengambilan hadiahnya. Harusnya tulisan di huruf tersebut berisi "Anda Kurang Beruntung", bukan VIP. Akhirnya si Erwin itu memutuskan untuk menelepon kantor pusat (dan di sini saya mulai yakin kalo sebenarnya mereka adalah penipu teladan). Saya sudah semakin cuek dan menampakkan sikap nggak bersahabat (padahal dalam hati sudah dumba-dumba gleter ).

Suara musik pun volumenya semakin kencang, ditambah lagi dengan suara karyawannya yang lumayan berisik. Saya pura-pura sibuk ber-SMS ria, padahal saya mencari-cari info seputar Oriental Home Living ini. Dan sialnya, koneksi internet handphone saya sangat lambat dan tidak bersahabat. Saya pun semakin pasrah, dan melongok ke dalam tas export kesayangan. Oke, kalo dia minta duit saya akan bilang uang saya hanya 50 ribu, pikir saya. Tiba-tiba, temannya yang tadi diajak si Erwin ngomong menghampiri saya. Dia tersenyum lebar, dan saya membalasnya dengan senyum kacci'. Si temennya itu (saya lupa namanya siapa) langsung bertanya hal-hal yang semakin membuat saya curiga. Oke oke, kalo dia nanya asli suku mana, tinggal sama siapa, sodaranya berapa orang, kerjaan orang tua, bla bla bla, itu hal yang lumrah kali ya. Tapi kalo sampe nanya, "SUDAH PUNYA PACAR BELUM?" menunjukkan bahwa dia itu kepo. Emang ada koneksi ekuivalen antara PACAR dan PENGAMBILAN HADIAH? Nggak kan? *sambil gigit saputangan, saking marahnya*

Singkat cerita, si Erwin ini ternyata dapet fax dari Jakarta yang menyatakan kalo saya berhak untuk mendapatkan hadiah. Dia pun bertanya apa saya punya kartu kredit berlogo VISA. Saya pun menyerahkan dengan sepenuh hati sambil tersenyum geli. Iya, soalnya saldo saya kan nol rupiah, alias sama sekali nggak ada. Setelah itu, saya ditanya apa berminat untuk membeli salah satu produknya. Dengan cuek, saya pun bilang belum butuh. Iya, ngapain coba saya bawa kompor gas yang harganya puluhan juta itu, sementara di rumah saya juga punya?

Akhirnya, Erwin pun bilang kalo saya bisa bayar DP. Saya pun kasih 50ribu. Tau-taunya, dia ngomong yang lumayan membuat hati saya "cetar membahana".

"Cuma 50ribu? Nggak ada yang lain Mbak? Soalnya kartu kreditnya nggak mencukupi."

Duh, seandainya saya seperti Ran di serial Detektif Conan pasti saya akan menghajar si cowok ini dengan tendangan putar. Saya menggeleng. Iya, duit saya memang cuma segitu, ditambah 100ribu di kantong sebelah.

Akhirnya, setelah 15 menit + 20 menit, saya pun menandatangani sebuah kertas. Intinya sih menyatakan membeli produk, dan katanya kertas itu nggak boleh hilang dan dibawa tanggal 7 Januari 2013.

Dan ketika saya kesana hari ini, SPB yang saya temui bilang kalo pamerannya ditunda (nah, semakin keliatan kan bo'ongnya? ). Saya disuruh kembali tanggal 15 Januari 2013. Tapi, saya memutuskan untuk browsing di Google seputar penipuan semacam ini. Dan iya sih, korbannya lumayan banyak juga.

Terakhir, saran saya buat teman-teman, hati-hati aja. Jangan tertipu sama pesona SPG yang seksi; cantik; unyu; dan sebagainya (buat cowok-cowok nih). Begitu pun buat cewek-cewek, jangan mau tertipu sama pesona SPB yang keren; wangi (a.k.a nggak bau ketek); macho; dan sebagainya. Kalo ditawarin produk, sebaiknya berkelit dengan seratus cara, biar ATM teman-teman tidak terkuras habis gara-gara produk yang tidak bermanfaat.

Salam kemerdekaan.

P.S.: Cerita ini bukan hasil rekayasa atau fiktif belaka. Ini adalah PENGALAMAN PRIBADI saya kawan-kawan!!


Lihat tulisan aslinya di sini.

Rabu, 31 Desember 2014

It's the Final Countdown

Tak terasa, dalam hitungan jam kita akan memasuki tahun 2015. Beragam hal telah dipersiapkan; setumpuk kembang api, aneka penganan untuk disantap, segudang resolusi, dan entah apalagi. Beberapa terlihat antusias, selebihnya mungkin sedang bersedih; tak bisa berkumpul dengan keluarga akibat pekerjaan, sedang berduka karena kehilangan kerabat yang dikasihi, atau karena hal lainnya.

Di tahun ini kita dikejutkan dengan banyak hal. Musibah yang tanpa henti membuat kita sering bertanya; apakah Tuhan sedang marah? Mengapa kita yang sering mengingat-Nya justru ditimpakan musibah, sementara yang ibadahnya bolong-bolong selalu diberikan kemudahan??

Dalam Islam, Allah subhanahu wata'ala telah menjanjikan bahwa segala sesuatu yang terlihat baik di mata kita padahal di dalamnya adalah keburukan, begitu pula sebaliknya. Demikian halnya dengan segala sesuatu yang telah terjadi---entah itu baik atau buruk---agar kita senantiasa mengambil hikmah, betapa kecilnya kita di hadapan-Nya, dan hanya Tuhan-lah satu-satunya tempat kita berserah diri.

Mari kita sambut tahun baru dengan harapan semoga kita menjadi manusia yang berkualitas dan berkuantitas. Dan kepada teman-teman yang sedang dilanda kesulitan, semoga Tuhan memberikan ketabahan.

Amiiiinnn!!!!

Balikpapan, 31 Desember 2013 pukul 05.28 p.m

Sabtu, 13 September 2014

Untukmu, yang Duduk di Seberang Sana (Jawaban untuk 'Janji yang Berat Sebelah')

Untukmu, yang duduk di seberang sana
Janji yang berat sebelah itu hanyalah sebuah alasan
Agar kita senantiasa memiliki waktu bersama
Menikmati bintang dengan kopi yang masih mengeluarkan uap panas
Tanpa handphone, hanya kau dan aku

Untukmu, yang duduk di seberang sana
Janji yang berat sebelah itu hanyalah sebuah alasan
Agar kau tahu, betapa sakitnya wanita jika ia selalu dibiarkan menunggu
Dan ketika waktu yang dijanjikan tiba, kau justru meninggalkannya tanpa perasaan
Namun meninggalkan jejak air mata dan bayangan
Yang tak bisa dihapus dengan sapu tangan merah jambu

Untukmu, yang duduk di seberang sana
Maaf, aku terpaksa membuat janji yang berat sebelah itu
Sore itu, di kafe ini, tempat pertama kali kita bertemu
Untuk mengutarakan perasaanku
Betapa aku mencintaimu, namun aku tak bisa mendampingimu selamanya
Karena aku telah bersamanya
Yang telah menawarkan janji
Janji yang telah kutanyakan ratusan kali padamu
Dan ribuan kali kau jawab tanpa kepastian

Di Bilik Sunyi, 14 September 2014; 12.46 a.m.



Postscript:

1. Lihat postingan aslinya di tautan ini.
2. Untuk puisi 'Janji yang Berat Sebelah', teman-teman bisa klik di sini.

Jumat, 08 Agustus 2014

Halte di bulan November

Bulan November, bulan yang syahdu karena hujan..

Aku akan pulang ke rumah ketika kurasakan tetesan air jatuh di bajuku. Awalnya aku tak menghiraukannya, tetapi semakin lama tetesan air itu berubah menjadi gerimis. Ketika aku sudah berada di halte untuk menunggu angkutan umum, gerimis itu pun dalam sekejap berubah menjadi hujan yang sangat deras---seolah-olah seseorang menumpahkan air dari langit dalam bentuk butiran yang jumlahnya tak terkira. Orang-orang yang tadinya berjalan kaki di trotoar berhamburan mencari tempat berlindung---di emperan toko atau di depan rumah seseorang. Begitu pula dengan pengendara motor yang lupa membawa jas hujan---buru-buru menghentikan kendaraannya untuk mencari tempat berlindung.

Di halte ini ada beberapa orang yang ikut berteduh. Selain aku, ada sepasang suami istri berusia paruh baya, tiga orang siswi SMA, dua orang pemuda berusia 20-an tahun, seorang murid SD (laki-laki), lima orang pegawai kantoran (tiga orang pria dan dua orang wanita), dan seorang pemulung (wanita) bersama seorang bocah laki-laki.

Beberapa dari mereka asyik dengan gadget masing-masing. Tiga orang siswi SMA itu misalnya, sedari tadi sibuk membaca sebuah artikel (entah apa) melalui tab kepunyaan salah seorang di antara mereka, kemudian asyik mendiskusikannya; sedangkan pegawai-pegawai kantoran asyik berdiskusi tentang status BBM yang diupdate oleh rekan kerja mereka semalam---sambil melihat handphone salah seorang rekan kerjanya yang wanita (aku tak menangkap jelas status apa tepatnya); dan murid SD yang sibuk memainkan game yang---lagi-lagi---aku tak tahu apa. Selebihnya sibuk dengan pemikiran masing-masing.

***

Aku menatap tetesan air dari langit. Sudah 15 menit berlalu, tapi hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Aku gelisah. Setengah jam lagi aku ada janji dengan Fara, teman kosku, untuk membantu dia mengetik skripsinya. Dia tak terlalu mahir menggunakan komputer, sehingga butuh bantuanku.

Orang-orang di halte mulai gaduh. Ibu yang seorang pemulung itu beberapa kali mendiamkan anaknya, mungkin lapar. Kuraba-raba tasku, mungkin ada sebungkus wafer atau roti yang biasa kuselipkan jika aku tak sempat membuat bekal makan siang. Tak ada apapun, aku membatin. Sementara sepasang suami istri itu terlihat terkantuk-kantuk, mungkin karena suasana syahdu akibat hujan. Kedua pemuda yang berusia 20-an mulai terlihat asyik mengobrol, kelihatannya mereka saling kenal. Sedangkan yang lain mengeluh dengan hujan yang belum juga reda.

Aku pun memejamkan mata sejenak. Berusaha menikmati tetesan air yang jatuh dari atap halte ke tanah---seolah-olah mereka sedang memainkan simfoni sederhana. Tik..tik..tik..tik..
...
Tahukah kamu kenapa Tuhan menciptakan hujan? Agar kesedihan manusia bisa terhapus melalui tetesan air yang menyejukkan. Bukannya Tuhan turut bersedih, tapi Ia ingin kalian menyadari bahwa serumit dan sesulit apapun masalahmu, Ia akan selalu ada mendampingimu---tanpa kamu sadari. Manusia mungkin bisa meninggalkanmu karena sebab, tetapi Ia tak pernah meninggalkanmu. Ingatlah itu...

Aku tersenyum simpul. Sudah lama rasanya suara itu tak kudengar..


***

Sejam kemudian...

Derasnya hujan yang sedari tadi mengguyur bumi berubah menjadi gerimis. Beberapa orang mulai meninggalkan halte. Si suami sudah mulai menstarter motornya, dan sedetik kemudian bergabung dengan pengendara lain di jalan raya, berboncengan dengan istrinya; begitu pula dengan kedua pemuda yang berusia 20-an, setelah sebelumnya saling bertukar nomor handphone. Pegawai kantoran dan rombongannya telah meninggalkan halte 10 menit lalu, sebab angkot yang mereka tunggu telah datang. Si ibu yang pemulung melanjutkan perjalanan ke arah utara, sambil menggendong bocah lelaki yang terlelap di pangkuannya. Sedangkan anak SD itu pergi ke arah selatan, sambil tetap bermain game di tangan.

Tinggal aku dan tiga orang siswi SMA yang masih berada di halte ini. Mereka tidak lagi melihat tab mereka, tapi memperhatikan kendaraan yang lewat---berharap angkot tujuan mereka lewat. Gerimis pun perlahan-lahan berubah menjadi tetesan-tetesan air. Aku sudah menelepon Fara, menjelaskan jika aku terlambat dan lima menit kemudian akan menuju kesana.

Angkot tujuan pun telah tiba. Aku pun bergegas naik, diikuti oleh siswi-siswi SMA tadi. Rupanya angkot tujuannya sama denganku. Di balik kaca yang berembun, kuperhatikan lagi halte tempat aku menunggu sedari tadi. Kosong. Penuh dengan jejak-jejak kaki berlumpur dan percikan air hujan---yang ada di dinding halte.
Seperti hati, yang dulunya dipenuhi perasaan berbunga-bunga, seketika kosong karena ia telah pergi meninggalkan kita dengan sejuta alasan. Yang tersisa darinya hanyalah nostalgia dan rasa sakit yang harus disembuhkan sendiri.
Dari balik kaca jendela angkot yang berembun, aku berusaha melukiskan dirimu. Apa kabar, kamu? Masih bahagiakah bersama pelukannya?

(Makassar, 8 Agustus 2014; pukul 04.30 a.m.)


lihat postingan aslinya di sini

Sabtu, 22 Maret 2014

SKRIPSI: STRATA SOSIAL MASYARAKAT BALANIPA (STUDI ATAS KETATANEGARAAN ISLAM)

ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang tiga masalah pokok, yaitu: 1) Bagaimana hubungan antara strata sosial dengan kepemimpinan dalam masyarakat Balanipa?, 2) Bagaimana mekanisme dalam menentukan strata sosial masyarakat Balanipa?, dan 3) Bagaimana perspektif siyasah syar’iyyah terhadap strata sosial dalam masyarakat Balanipa?
Penelitian ini bersifat penelitian hukum empiris, sebab penelitian ini menitik-beratkan pada data primer atau dasar, yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama melalui penelitian lapangan. Teknik penelitian yaitu; merumuskan masalah, kerangka berpikir, mengajukan hipotesis, pengujian hipotesis, dan menarik kesimpulan. Dalam skripsi ini, yang menjadi populasi target adalah seluruh warga desa yang ada di wilayah Kecamatan Balanipa, dan populasi terjangkau adalah tokoh masyarakat tiap desa yang ada di wilayah Kecamatan Balanipa. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan terdiri dari wawancara, observasi, dokumentasi, dan triangulasi (gabungan). Sedangkan metode pengolahan data dalam skripsi ini yaitu editing data dan koding data. Secara umum, dalam analisis data, komponen-komponen yang wajib ada yaitu: pengumpulan data, sajian data, dan kesimpulan akhir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara strata sosial masyarakat Balanipa dengan kepemimpinan sangat erat kaitannya dalam masyarakat. Meskipun dalam pesan to dzilaling dikatakan bahwa pemimpin tidak harus dari kalangan arajang, tetapi masyarakat masih saja merasa risih jika mendengar seseorang yang bukan turunan arajang ingin menjadi pemimpin di suatu wilayah. Adapun mekanisme dalam menentukan strata sosial masyarakat Balanipa pada dasarnya dilihat dari segi keturunan (ascribed status), namun perlahan-lahan budaya ini terkikis sehingga masyarakat kemudian menilai seseorang dari kekayaan harta yang mereka miliki. Sedangkan perspektif siyasah syar'iyyah terhadap strata sosial dalam masyarakat Balanipa yaitu siapapun yang memiliki kapabilitas untuk menjadi seorang pemimpin, maka ia layak dipilih----tanpa memandang ras dan dari turunan mana ia berasal.
Implikasi terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat Balanipa----melalui ulama (pukkali) dan tokoh masyarakat----perlu dijelaskan lebih mendalam terkait kriteria pemimpin dengan melakukan pendekatan Alquran, hadis, dan petuah-petuah Mandar; dan 2) Strata sosial dalam masyarakat Balanipa tidak harus dihilangkan, tetapi dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai nilai khas dari budaya Mandar pada umumnya.

Klik link berikut di sini.

Jumat, 10 Januari 2014

Who is The Next "Pemimpin"?

Hari ini saya ke kampus----setelah sekian lama ‘bertelur’ di rumah----untuk mengurus berkas-berkas persyaratan pengambilan ijazah. Kesan pertama yang saya dapat saat memasuki gerbang kampus adalah: semarak dengan gambar-gambar atribut kampanye. Oh, rupanya dalam waktu dekat akan ada PEMILMA (Pemilihan Mahasiswa).

Buat yang belum tau, PEMILMA bukan sejenis pil yang bisa diminum saat mules. PEMILMA adalah ‘pesta demokrasi’ yang diadakan setiap tahun (dua periode atau dua semester) di awal tahun menjelang semester ganjil usai. Disini, beberapa mahasiswa menjadi kandidat ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, Ketua Senat Mahasiswa Tingkat Fakultas/Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tingkat Fakultas, dan Presiden Mahasiswa/Ketua BEM Tingkat Universitas. Sistem pemilihannya kayak di Indonesia; dibagi per fakultas dan tiap-tiap pengurus BEM-F bertanggung jawab di wilayah mereka masing-masing.

***

Empat tahun silam, saya masih ‘mahasiswa ingusan’ dan ‘belum berlumur dosa’. Polos banget. Di masa-masa maba, ada beberapa senior yang melakukan ‘pendekatan-pendekatan’ pada kami, angkatan 2009. Kita yang waktu itu masih culun abis, tentu nggak pernah tau bahwa kelak mereka ini mendekati kita untuk ‘tujuan tertentu’.

Menjelang PEMILMA, mulailah beberapa kandidat dikenalkan kepada kita melalui poster-poster atau penjabaran visi-misi mereka dalam kelas saat kami menanti dosen yang belum menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Terus terang, saya waktu itu kurang paham dengan pemaparan visi-misi mereka. Ataukah, otak saya yang saat itu masih rada tulalit dengan istilah-istilah mereka? Entahlah.

Saya masih ingat sekali, ada beberapa kandidat yang sangat ambisius menduduki kursi kepemimpinan. Dia rajin sekali melakukan pendekatan sama kita, anak 2009. Kalo ada waktu senggang dan kebetulan kita ketemu, dia pasti nanya-nanya dengan sok akrab:

“Siapa lagi nama ta?”
“Orang mana ki?”
“Dari sekolah mana ki dulu dek?”
“Dimana ki tinggal?”
“Kos-kosan ki atau tinggal sama orang tua?”
And bla bla bla bla.

Penting amat ya mereka tau hal-hal yang di atas. Oke, saya tau mereka pengen terlihat akrab. Tapi kok kesannya sangat kepo ya?

***

Beberapa hari menjelang PEMILMA, mereka----melalui tim sukses----bakal gencar melancarkan doktrin-doktrin untuk memilih jagoan mereka saat ‘pesta’ itu tiba. Mereka nggak pernah tau kawan dan lawan, pokoknya saling hantam dan sikut sudah menjadi hal yang biasa----meskipun cuma dilakukan secara tersembunyi. Lagi-lagi, kata yang paling sering mereka keluarkan adalah:

“Dia orang ini, atas nama solidaritas pilihlah dia.”
“Si A dari jurusan itu, atas nama solidaritas kami mohon suaranya.”
“Si B itu kandidat ini, atas nama solidaritas pilihlah dia. Kalo kamu pilih dia, pasti kami akan pertimbangkan kamu menjadi pengurus.”

Eng-ing-eng, beginilah kira-kira gambaran dari pemilma yang menjunjung tinggi solidaritas. Nggak jauh beda ya sama pemilu yang diadain di Indonesia?

***

Saat pemilma berlangsung, terkadang masih ada calon yang menyelipkan sekali lagi ‘doktrin’ mereka agar jangan lupa memilih mereka. Saya masih ingat kata-kata si calon saat dia mengantre di belakang saya untuk memberi hak suara.

“Dek, minta tolong ka ini nah. Pilih ka.”

Pardon, you beg to me? Jujur, ini membuat saya sangat miris waktu itu. Apakah si calon ini melihat saya sebagai sekedar komoditi yang bisa dicocok hidungnya kesana kemari kayak kebo? Salahkah saya bila saya tidak memilih kandidat tersebut karena hati nurani? Apakah saya dianggap tidak solid hanya karena bukan kandidat itu yang saya pilih? Lebih tinggi mana sebetulnya, hati nurani ataukah ambisi seorang kandidat?

Saya marah, karena saya bukanlah Shinichi Kudo yang bisa mengungkapkan kenyataan----sepahit apapun----dengan ekspresi datar. Saya hanyalah seorang anak yang berani menyuarakan kebenaran lewat permainan kata. Seandainya saya bisa seperti tokoh manga yang saya kagumi itu, pasti saya akan berteriak di depannya. “TOLONG, BERHENTILAH MEMPERMAINKAN PERASAAN SAYA! SAYA BUKAN KERBAU! BIARKAN SAYA MEMILIH SESUAI DENGAN HATI NURANI!” (Saya nggak masuk di partai yang ada tagline ‘hati nurani’nya itu ya, catet!)

***

Dunia PEMILMA juga sarat dengan istilah ‘kandidat bayangan’. Ada salah satu kandidat yang diajukan menjadi calon dengan tujuan tertentu; untuk pemecah suara dalam satu kelompok atau dia diajukan karena rasanya nggak fair bila calon kandidat cuma seorang----pasti tanpa PEMILMA dia menang mutlak. Jadi ingat kisah sahabat saya----si A----di kampus seberang….

Saat itu----selesai mata kuliah, secara tiba-tiba si A didatangi beberapa teman. Terus terang A agak kaget juga, baru kali ini mereka melihat muka teman-temannya yang serius. Salah seorang kemudian bertindak sebagai jubir, menjelaskan maksud mereka dengan bertele-tele. Intinya, meminta teman saya itu maju sebagai ‘kandidat bayangan’dengan alasan bila mereka-mereka yang maju, takutnya akan memecah belah suara junior dan senior----karena mereka sudah cukup dikenal----yang akan membuat salah seorang teman yang maju sebagai ‘kandidat sebenarnya’ akan terpecah suaranya.

Kasihan teman saya itu, karena alasan ‘dia tidak terkenal di kalangan junior dan senior’, mereka memasangnya menjadi kandidat. Hingga cerita ini saya tulis, masih terbayang lagi ekspresi muka dan perkataannya saat dia mengucapkan hal ini pada saya:

Sikulu’naliat manusia ja itu orang kah? Kata-katanya sok merendahkan sekali. Terus terang nah Erdha, terbersit pun niat saya untuk menjadi kandidat tidak pernah. Lagi-lagi, atas nama solidaritas saya harus rela harga diriku diinjak-injak sedemikian rupa. Sh*t!

Beberapa hari kemudian, saat kandidat diberikan kesempatan untuk kampanye, si A juga ingin membuat poster dan memperkenalkan diri layaknya ‘kandidat normal’. Segalanya dikerjakan sendiri, karena dia tahu posisinya sebagai ‘kandidat bayangan’. Sebagai sahabat yang baik, saya pun menolong sebisanya dan semampunya. Saya ingat sekali, pukul 3 dinihari saya dan dia baru bisa tidur.

Esoknya, dengan tampang penuh semangat, si A berencana menempel poster sederhana tersebut di sore hari----saat suasana kampus sunyi. Dia tak ingin meminta tolong kepada siapapun, karena (lagi-lagi) dia menyadari posisinya. Sialnya, seorang temannya yang iseng langsung menarik poster tersebut dari tasnya. Sejurus kemudian, teman yang iseng itu menertawakan posternya yang kelewat sederhana dan kekanakan. Tanpa ba-bi-bu, si A langsung meninggalkan kelas. Tanpa menoleh. Tanpa peduli panggilan temannya. Tanpa peduli mata kuliah selanjutnya. Yang hanya sahabat saya ingin lakukan waktu itu hanya satu: PULANG KE RUMAH KARENA MALU.

Saat tiba di rumah, dia menangis dan menelepon saya menyuruh datang. Saya ingat sekali waktu itu, bahwa jerih payah yang kita kerjakan BERDUA hingga pukul 3 dinihari ditertawakan karena bentuknya.

“Bisa apaka? Saya hanyalah ‘kandidat bayangan’. Mau ka minta tolong sama siapa kodong?” ujarnya sesenggukan.

Ya, saya betul-betul MARAH. Hal ini sudah tidak bisa ditolerir. Sudah ‘mengatai’ sahabat saya dengan kata-kata terendah, kini ia pun ditertawai karena posternya. Tapi, yang saya lakukan hanyalah menenangkan dia dengan kata-kata manis.

Beberapa hari selanjutnya, saat PEMILMA berlangsung, saya mengajak teman saya untuk pergi ke mall, huntingnovel Sherlock Holmes. Sekalian, mencoba membantu teman saya untuk melupakan sejenak bahwa dia hanyalah ‘kandidat bayangan’.

***

Tulisan saya ini bukan untuk menghasut teman-teman agar memboikot PEMILMA. Tidak, saya tidak pernah bermaksud demikian. Tulisan ini sekedar refleksi dari perjalanan saya sebagai seorang mahasiswa selama empat tahun lebih. Dan saya lihat, suasana PEMILMA yang sekarang ini tidak jauh berbeda, seperti déjà vu. Mengulangi peristiwa masa silam, dengan tagline yang masih sama: SOLIDARITAS.

Sudah siapkah kita mengembalikan makna kata SOLIDARITAS yang sebenarnya?