Happy Cat Kaoani

Jumat, 08 Agustus 2014

Halte di bulan November

Bulan November, bulan yang syahdu karena hujan..

Aku akan pulang ke rumah ketika kurasakan tetesan air jatuh di bajuku. Awalnya aku tak menghiraukannya, tetapi semakin lama tetesan air itu berubah menjadi gerimis. Ketika aku sudah berada di halte untuk menunggu angkutan umum, gerimis itu pun dalam sekejap berubah menjadi hujan yang sangat deras---seolah-olah seseorang menumpahkan air dari langit dalam bentuk butiran yang jumlahnya tak terkira. Orang-orang yang tadinya berjalan kaki di trotoar berhamburan mencari tempat berlindung---di emperan toko atau di depan rumah seseorang. Begitu pula dengan pengendara motor yang lupa membawa jas hujan---buru-buru menghentikan kendaraannya untuk mencari tempat berlindung.

Di halte ini ada beberapa orang yang ikut berteduh. Selain aku, ada sepasang suami istri berusia paruh baya, tiga orang siswi SMA, dua orang pemuda berusia 20-an tahun, seorang murid SD (laki-laki), lima orang pegawai kantoran (tiga orang pria dan dua orang wanita), dan seorang pemulung (wanita) bersama seorang bocah laki-laki.

Beberapa dari mereka asyik dengan gadget masing-masing. Tiga orang siswi SMA itu misalnya, sedari tadi sibuk membaca sebuah artikel (entah apa) melalui tab kepunyaan salah seorang di antara mereka, kemudian asyik mendiskusikannya; sedangkan pegawai-pegawai kantoran asyik berdiskusi tentang status BBM yang diupdate oleh rekan kerja mereka semalam---sambil melihat handphone salah seorang rekan kerjanya yang wanita (aku tak menangkap jelas status apa tepatnya); dan murid SD yang sibuk memainkan game yang---lagi-lagi---aku tak tahu apa. Selebihnya sibuk dengan pemikiran masing-masing.

***

Aku menatap tetesan air dari langit. Sudah 15 menit berlalu, tapi hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Aku gelisah. Setengah jam lagi aku ada janji dengan Fara, teman kosku, untuk membantu dia mengetik skripsinya. Dia tak terlalu mahir menggunakan komputer, sehingga butuh bantuanku.

Orang-orang di halte mulai gaduh. Ibu yang seorang pemulung itu beberapa kali mendiamkan anaknya, mungkin lapar. Kuraba-raba tasku, mungkin ada sebungkus wafer atau roti yang biasa kuselipkan jika aku tak sempat membuat bekal makan siang. Tak ada apapun, aku membatin. Sementara sepasang suami istri itu terlihat terkantuk-kantuk, mungkin karena suasana syahdu akibat hujan. Kedua pemuda yang berusia 20-an mulai terlihat asyik mengobrol, kelihatannya mereka saling kenal. Sedangkan yang lain mengeluh dengan hujan yang belum juga reda.

Aku pun memejamkan mata sejenak. Berusaha menikmati tetesan air yang jatuh dari atap halte ke tanah---seolah-olah mereka sedang memainkan simfoni sederhana. Tik..tik..tik..tik..
...
Tahukah kamu kenapa Tuhan menciptakan hujan? Agar kesedihan manusia bisa terhapus melalui tetesan air yang menyejukkan. Bukannya Tuhan turut bersedih, tapi Ia ingin kalian menyadari bahwa serumit dan sesulit apapun masalahmu, Ia akan selalu ada mendampingimu---tanpa kamu sadari. Manusia mungkin bisa meninggalkanmu karena sebab, tetapi Ia tak pernah meninggalkanmu. Ingatlah itu...

Aku tersenyum simpul. Sudah lama rasanya suara itu tak kudengar..


***

Sejam kemudian...

Derasnya hujan yang sedari tadi mengguyur bumi berubah menjadi gerimis. Beberapa orang mulai meninggalkan halte. Si suami sudah mulai menstarter motornya, dan sedetik kemudian bergabung dengan pengendara lain di jalan raya, berboncengan dengan istrinya; begitu pula dengan kedua pemuda yang berusia 20-an, setelah sebelumnya saling bertukar nomor handphone. Pegawai kantoran dan rombongannya telah meninggalkan halte 10 menit lalu, sebab angkot yang mereka tunggu telah datang. Si ibu yang pemulung melanjutkan perjalanan ke arah utara, sambil menggendong bocah lelaki yang terlelap di pangkuannya. Sedangkan anak SD itu pergi ke arah selatan, sambil tetap bermain game di tangan.

Tinggal aku dan tiga orang siswi SMA yang masih berada di halte ini. Mereka tidak lagi melihat tab mereka, tapi memperhatikan kendaraan yang lewat---berharap angkot tujuan mereka lewat. Gerimis pun perlahan-lahan berubah menjadi tetesan-tetesan air. Aku sudah menelepon Fara, menjelaskan jika aku terlambat dan lima menit kemudian akan menuju kesana.

Angkot tujuan pun telah tiba. Aku pun bergegas naik, diikuti oleh siswi-siswi SMA tadi. Rupanya angkot tujuannya sama denganku. Di balik kaca yang berembun, kuperhatikan lagi halte tempat aku menunggu sedari tadi. Kosong. Penuh dengan jejak-jejak kaki berlumpur dan percikan air hujan---yang ada di dinding halte.
Seperti hati, yang dulunya dipenuhi perasaan berbunga-bunga, seketika kosong karena ia telah pergi meninggalkan kita dengan sejuta alasan. Yang tersisa darinya hanyalah nostalgia dan rasa sakit yang harus disembuhkan sendiri.
Dari balik kaca jendela angkot yang berembun, aku berusaha melukiskan dirimu. Apa kabar, kamu? Masih bahagiakah bersama pelukannya?

(Makassar, 8 Agustus 2014; pukul 04.30 a.m.)


lihat postingan aslinya di sini

Kode Smiley Untuk Komentar


:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t  

6 komentar: