Awan putih berarak di atasku. Angin ini…pasti di
akhir musim gugur. Aku paling suka ketika musim panas akan berakhir. Inilah
musim ketika daun-daunku paling nampak berkilap---saat ini jadi nampak sangat
tinggi dan terbentang luas. Bumi di
bawah nampak kecil dan indah seolah-olah dilihat dari ujung teropong yang
salah. Hari ini anak-anak itu kembali bermain di sini. Mereka menangkap kamikirimushi
(kumbang tanduk panjang) yang mereka temukan di batang pohonku. Kumbang ini
punya gigi yang kuat.
“Satu saja! Boleh ya aku potong
satu saja?” pinta si anak laki-laki seperti biasa.
“Cuma satu ya, tidak boleh
lebih.”
Gadis kecil itu perlahan-lahan
meraih sehelai rambutnya lalu direntangkan, sambil menatap si anak laki-laki.
Anak itu lalu mengeluarkan kumbang kamikiri yang ditangkapnya tadi, dan
membiarkannya menggigit sehelai rambut gadis itu. Sang kumbang mengeluarkan
suara yang lirih (tidak dengan wujudnya) dan menggigit sehelai rambut gadis itu
hingga menjadi potongan-potongan kecil.
“Satu lagi, ya! Boleh, ya?” si anak
laki-laki kembali memohon.
“Jangan sampai dia memotong
banyak-banyak,” kata gadis kecil itu sambil kembali mengulurkan rambutnya.
Entah kapan mereka pertama kali
datang ke sini. Rasa-rasanya gadis kecil itu sudah pernah aku kenal dulu.
***
Dahulu kala, dulu sekali…
Waktu itu tempat ini masih padang
rumput luas dan jadi tempat latihan para tentara. Tidak ada rumah, tidak ada
jalanan, tidak ada kabel-kabel listrik. Di padang itulah aku berdiri sendiri. Sejak
kapan ya? Bahkan aku sendiri tidak ingat. Waktu itu batang pohonku mungkin
belum sebesar sekarang. Mungkin juga waktu itu aku belum setinggi sekarang. Di
ujung sebelah selatan padang rumput tempat latihan itu ada stasiun Hiroshima,
dan aku nyaris bisa melihat asap yang keluar saat kereta itu membunyikan
peluitnya. Tampak kepulan asap putih, setelah itu terdengar bunyi mesin.
Saat itu gunung Fujiyama pastinya
masih nampak dari stasiun. Gunung Futagayama juga pasti nampak di sisi yang
lain, tapi aku tidak pernah ingat melihatnya. Aku masih ingat suara peluit uap
di kejauhan. Jauh di ujung padang rumput yang luas itu…
Setiap hari, dari pagi sampai
sore, tentara-tentara itu akan datang dan berlatih. Mereka datang berlarian ke
arahku dari jarak yang sangat jauh---saking jauhnya sampai-sampai mereka
kelihatan seperti biji-biji wijen. Mereka akan menyebar ke samping, berlari ke
depan, lalu tiarap di atas tanah, kembali berlari, merunduk, dan bergerak menyerang
ke depan. Sesekali akan terdengar suara seseorang, dan akan nampak pedang yang
berkilat ditimpa cahaya matahari. Tidak lama kemudian mereka perlahan-lahan
mulai mendekat dan akhirnya sambil mengeluarkan teriakan perang, mereka akan
berlarian sambil saling menyerang di bawah batang pohonku.
Terdengar suara terompet dan
latihan pun selesai. Para tentara itu berbaris lalu menumpuk senjata-senjata
mereka seperti batang-batang korek api saja. Waktunya mereka istirahat.
Tentara-tentara itu akan datang dan beristirahat di bawah bayang-bayangku yang
rindang. Seragam-seragam warna khaki mereka nampak menebarkan keringat.
Bau keringat dan kulit akan tercium dari bawah. Bahkan saat ini, di musim panas
yang tenang---saking tenangnya sampai bisa terdengar suara dering yang tajam di
telinga---terkadang aku masih bisa mengingat bau itu. Seperti kilasan balik atau
mimpi. Bahkan ketika itu pun kumbang-kumbang kamikiri sudah sering bermain di
batang pohonku. Mereka akan menangkapi kumbang-kumbang itu dan mengadunya. Para
tentara di masa itu kepalanya botak, jadi rambut mereka terlalu pendek untuk
bisa dipotong oleh kumbang itu. Tapi suatu hari, seorang tentara yang usil
menarik kepala temannya, dan mencoba membuat kumbang itu memotong rambutnya.
Yang ada kumbang itu malah sedikit demi sedikit menggigit kulit kepala tentara
itu saat berusaha menggigiti rambutnya.
"Aduh, apa yang kau
lakukan?"
Para tentara itu akan bergelut
sambil bermain-main.
***
Serdadu-serdadu itu selalu pulang
ke baraknya sambil menyanyikan sebuah lagu militer.
Di sini, di Manchuria, ratusan kilometer dari kampung halaman, disinari mentari merah yang tengah terbenam, temanku berbaring di bawah batu, nun jauh di ujung sebuah padang.
Aku suka sekali dengan nada di
bagian lirik; temanku berbaring di bawah batu, nun jauh di ujung sebuah
padang. Walaupun aku tidak tahu apa artinya, aku menyaksikan para serdadu
itu kembali ke barak, menyanyikan setiap baris lagu tadi dua kali, dan kupikir
lagu itu indah.
Aku membayangkan seperti apa suasana
perang. Perang diterangi mentari merah yang sedang terbenam, kedengarannya
indah. Tapi, itu dulu sekali. Aku tahu para serdadu itu, tapi aku tidak
tahu apa itu perang. Beberapa tahun pun berlalu, entah berapa lama…
Mundurlah sedikit dan perhatikan batang
pohonku. Akan kelihatan ia miring ke satu sisi dekat bagian akar. Ada yang
bilang aku ini pohon buruk yang cacat, tapi tidak banyak orang yang tahu
penyebabnya. Tidak ada lagi yang ingat. Di hari yang nahas itulah batang pohonku
mulai miring.
***
Pagi itu senyap, embun bermunculan
dan tidak ada angin. Sesaat setelah fajar menyingsing, terdengar satu kali
raungan sirine. Sirine serangan udara yang memperingatkan adanya pesawat musuh
yang mendekat. Tapi tidak ada yang berbeda di kota itu, juga di tempat-tempat
lain. Ada satu orang yang berlari dari arah stasiun melintasi lapangan rumput
tempat latihan. Ada juga yang sedang menyapu di undak-undakan batu di kuil yang
terletak di kaki gunung Futagayama seperti biasa. Mungkin sudah sekitar dua jam
berlalu tanpa terjadi apapun. Bahkan tak ada satu kereta pun yang lewat. Lalu
sirine itu kembali meraung, mengabarkan kalau peringatan serangan udara sudah
dicabut.
Lima atau enam serdadu berbaris
cepat di barak yang kelihatan seperti gudang di ujung lapangan tempat
pelatihan. Mereka mau pergi sarapan seperti biasa, meskipun sedikit terlambat
gara-gara sirine serangan udara tadi. Hari itu pemandangannya biasa, tidak ada yang
aneh. Tapi entah kenapa aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Di langit
seharusnya sudah tidak ada lagi pesawat musuh, tapi ada pesawat kecil yang
terbang ke arah kami, nampak bersinar seperti kertas kaca. Pesawat Jepang-kah?
Pesawat itu terbang cukup tinggi. Saat melintas persis di atas Hiroshima,
pesawat itu mengeluarkan kilauan sejenak, lalu mengubah arah. Tidak lama
kemudian, cahaya memenuhi langit. warnanya merah muda pucat atau ungu,
seolah-olah ada magnesium yang disulut persis di depan mata.
Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Semburan angin yang sangat kuat melewatiku dalam sekejap seolah mendorongku. Ah,
aku jatuh! Itulah yang ada di pikiranku waktu itu.
Waktu aku tersadar, hari sudah
siang. Badanku miring sampai ke akar. Semua daun-daunku menghadap ke selatan,
warnanya jadi cokelat muda dan sakit. Langit pagi biasanya cerah sekali, tapi pagi
ini semua berawan. Asap membumbung di seluruh penjuru kota. Sesaat aku sempat
tidak menyadari apa yang ada di sekelilingku. Aku sedang berdiri di tengah
neraka.
Lapangan tempat latihan penuh
manusia. Nyaris tidak ada tempat berdiri. Mereka semua seperti monster; tanpa
wajah, mata, mulut, atau telinga. Serdadu-serdadu itu bergeletakan tak
bernyawa. Kaki-kaki telanjang mereka menyembul dari seragam yang compang-camping.
Kuda-kuda berjalan terhuyung, dan jatuh. Bulu-bulu mereka terkelupas, yang
nampak kulitnya saja. Tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya rintihan dan
erangan. Dari arah kota makin banyak orang berdatangan ke arah lapangan tempat
latihan itu.
Di tengah-tengah lapangan itu,
ada parit yang memanjang yang sengaja digali untuk latihan para serdadu. Parit
itu kini penuh air berwarna merah keruh. Orang-orang yang tubuhnya terbakar dan
kesakitan, merangkak ke arah parit mencari air, mencelupkan kepala di genangan
air yang dangkal, lalu berhenti bergerak seolah mereka habis menelan racun yang
keras sekali.
Matahari sudah terbenam, tapi
langit masih merah dari api yang terus membakar kota itu. Warna merah di langit
terpantul di permukaan air dalam parit sehingga kelihatan seperti sungai darah.
Nanah yang mengalir dan nyaris menyembul dari kulit-kulit yang luka dan
terbakar itu nampak mengerikan. Aku merasa lemah dan terus berpikir akan
tumbang. Akarku yang paling tebal mungkin luka, karena rasa sakit ini terasa
sampai ke ujung rantingku yang paling tinggi. Sesekali ada yang jatuh dari
dahan-dahanku dengan bunyi gemerisik. Aku sempat bertanya-tanya apa itu.
Ternyata burung pipit dan walet yang sayapnya terbakar, sampai-sampai mereka
tidak bisa terbang. Tidak ada lagi sisa kekuatan mereka untuk terus bertengger
di dahanku, dan akhirnya jatuh ke tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar