Happy Cat Kaoani

Jumat, 20 November 2015

Guruku Panutanku

Foto Pak Muhammad Arham (sumber: Facebook)
Bagi saya, masa SMP merupakan masa terbaik dalam hidup. Saya bersekolah di salah satu madrasah tsanawiyah terbaik di kota Makassar. Dari sanalah, saya belajar untuk menjadi lebih bertanggung jawab sejak dini. Banyak pengalaman yang berkesan, tapi yang ingin saya bagi di sini adalah cerita tentang guru bahasa Arab saya semasa menempuh pendidikan di sekolah tersebut.


***
Sederhana dan sangat dekat dengan anak-anak; itulah kesan pertama saya dengan guru bahasa Arab sekaligus pembina OSIS---sekaligus pembina organisasi ekstrakurikuler sekolah 'Tapak Suci'---waktu itu, Pak Drs. Muhammad Arham. Penampilan beliau (hingga sekarang) tidak pernah berubah: tetap dengan kumis, kacamata, dan rambut cepak ala tentara. Saat beliau ke sekolah, beliau mengendarai motor. Ketika ditanya mengapa lebih memilih motor, padahal jika mau beliau bisa saja membeli mobil, beliau hanya tersenyum dan menjawab pendek, "Kalo pake mobil, kita agak susah buat nyalip saat macet. Motor kan lebih enak (dikendarai)."

Saya masih ingat, di hari pertama beliau mengajar di kelas kami (beliau waktu itu mengajar khusus untuk seluruh anak-anak kelas II), kami semua terkagum-kagum. Beliau sama sekali tidak membawa buku panduan! Hanya absen dan spidol yang terletak di atas meja. Beliau mengawali kelas dengan menyebutkan aturan bahwa buku tulis kami harus disampul berwarna hijau tua. Setelah itu, beliau menulis papan tulis dengan tulisan 'bismillaahirrahmaanirrahiim' selama tiga detik. Beliau menantang kami untuk melakukan hal serupa, dan tidak ada yang sanggup. Beliau bilang, suatu saat kami akan bisa jika terus mencoba. Jangan pernah menyerah, motto pertama yang beliau agungkan dalam kelas di hari pertama itu masih terus saya ingat hingga hari ini.

Cara mengajar beliau pun sangat mudah dipahami. Beliau akan memberikan kami sebuah contoh, kemudian bertanya apakah kami sudah paham dengan membuat sebuah pertanyaan. Jika masih salah, beliau akan mengulangi penjelasannya dengan sangat perlahan. Setelah yakin kami mengerti, beliau menyuruh kami mengerjakan tugas yang ada di buku paket. Metode lain yang beliau gunakan untuk menguji kami adalah Imla'. Jadi beliau akan menyebutkan sebuah kalimat dalam bahasa Arab, kemudian kami disuruh menuliskannya dalam buku tulis. Ini juga salah satu pelajaran favorit saya. Kadang nilai saya sempurna dalam pelajaran ini.

Sekali waktu, beliau menjanjikan kami untuk menonton film 'Sindibad' di lab bahasa. Tentu saja kami senang bukan main. Maklumlah, belum ada Youtube dan kami (atau saya sendiri?) jarang ke bioskop. Di belakang hari, barulah saya tahu bahwa ini salah satu metode belajar beliau untuk mengusir kebosanan kami---yang setiap hari hanya berkutat dengan buku tulis, pulpen dan berada dalam ruang kelas.

Yang menarik adalah saya belum pernah melihat beliau memarahi, apalagi memukul anak muridnya. Kesabaran beliau memang luar biasa. Mungkin ini salah satu alasan kenapa beliau sangat dekat dengan anak didiknya.


Hobi beliau yang lainnya adalah merekam. Dalam setiap kegiatan sekolah, beliau selalu membawa handycam (yang saya lupa mereknya apa) dan merekam setiap kegiatan sekolah. Masa Orientasi Siswa, PORSENI (Pekan Olahraga dan Seni), LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan), dan lainnya semua beliau rekam. Kadang, saat ada siswa yang meminta dokumentasi kegiatan tersebut, beliau akan meminta uang sebesar sepuluh ribu rupiah untuk biaya produksi. Semuanya. Tidak ada satu rupiah pun yang beliau ambil untuk kepentingan pribadinya.

 ***
Kenangan lainnya yang berkesan adalah saat saya kelas II di semester akhir. Pagi itu, selesai upacara bendera di hari Senin, beberapa nama dipanggil---termasuk nama saya---untuk menghadap ke kantor. Waktu itu, saya sudah menduga bahwa ini terkait dengan pelanggaran sekolah yang saya lakukan. Setelah mengumpulkan kami, beliau dan Pak Hafiluddin---wakamad (wakil kepala madrasah) kami---akhirnya menceramahi kami. Setelah itu beliau (sebagai pembina OSIS) kemudian memberi kami secarik kertas yang berisi nama dan sanksi yang kami terima. Hukumannya beragam (mulai membersihkan seluruh toilet sekolah, membersihkan halaman sekolah, dan membersihkan kaca jendela perpustakaan), tapi yang paling pokok adalah kami disuruh menuliskan QS. an-Nuur/24: 30-31 sebanyak 100 kali serta surat panggilan untuk orang tua masing-masing. Reaksi orang tua saya? Marah dan malu, pastinya. Tapi mau bagaimana lagi? Dan karena ini orang tua memotong uang jajan saya selama tiga bulan :'(.

Selama tiga bulan, saya mengerjakan 'tugas' menulis ayat tersebut. Kesannya memang mustahil, tapi saya terus berusaha semaksimal mungkin. Dan kegigihan saya itu membuat saya sadar, tulisan Arab saya semakin bagus menjelang akhir! Awalnya saya tidak begitu memperhatikan, tapi saat melihat lagi tulisan Arab tersebut, saya jadi tertawa geli. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?? Sayang sekali saya tidak mendokumentasikan tulisan tersebut (maklum belum punya handphone, apalagi yang pake kamera). Tapi yang paling saya cemaskan, bagaimana dengan reaksi beliau sendiri? Apakah akan percaya jika ini bukan tulisan orang lain?


Keesokan harinya, saat penyerahan tugas, beliau mengecek kertas tersebut satu per satu. Beliau menatap saya, kemudian menatap kertas itu lagi. Pasti beliau heran dengan tulisan ini. Beliau berkali-kali bertanya, apa saya menyuruh orang lain untuk menuliskan sisanya. Saya pun berkali-kali meyakinkan beliau bahwa semua itu tulisan saya sendiri.


"Kenapa tulisannya bisa berubah begini?" tanya beliau heran.

"Nah, itu dia pak. Saya juga nggak tau. Tapi kalo Bapak mau membuktikan saya bersedia," ujar saya mantap.

Beliau menatap saya, kemudian tersenyum simpul. "Ya sudah kalo begitu," ujarnya singkat.

 ***
Saat saya kelas III SMP, beliau tidak menjabat lagi sebagai pembina OSIS. Kami (teman-teman pengurus di) waktu itu kaget, karena kami merasa beliau terlalu sempurna untuk digantikan oleh siapapun. Kami ramai-ramai mendatangi beliau untuk menanyakan keputusan itu, tapi beliau hanya menjawab singkat, "Jabatan itu ada batasnya. Kita tidak boleh ambisius. Saya sudah lama menjabat, tidak ada salahnya untuk diganti. Dengan begitu memberi kesempatan pada yang lain, siapa tahu mereka lebih baik dari saya."

Luar biasa! Beliau sama sekali tidak keberatan. Dan yang paling penting beliau mengajarkan kami satu hal, bahwa jangan pernah mengejar jabatan. Jabatan hanya amanah, dan suatu saat bisa berakhir. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha semaksimal mungkin ketika amanah datang menghampiri.

Sedih rasanya, tapi itu kenyataan yang harus kami hadapi....

***
Hingga saat ini saya masih berhubungan lewat Facebook dengan beliau (karena saya sekarang berada di luar kota Makassar). Saat bernostalgia, beliau sering meledek saya tentang sanksi yang saya terima. Saya pun hanya tertawa singkat mengingat kekonyolan itu. Tetap saja, hingga saat ini beliau tidak pernah berubah: masih senang mengabadikan momen-momen penting sekolah, dan penampilannya yang masih seperti itu saja.

Terima kasih, Pak Arham. :)


Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" http://lagaligo.org/lomba-menulis

Selasa, 10 November 2015

SPECTRE: Petualangan Terakhir (?) Mencari Cinta Sejati

Poster Film Spectre
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kemarin siang saya menonton bagian keempat dari film James Bond yang dibintangi oleh Daniel Craig. Syukurnya, saya datang tepat waktu. Sebab, saya tiba di bioskop 10 menit sebelum filmnya dimulai. Untungnya antrian di loket tidak terlalu lama. Sengaja saya memilih nonton di siang hari, maklumlah kemana-mana saya menggunakan angkot. Terlalu berbahaya bagi seorang perempuan untuk keluar di malam hari (padahal sih karena jomblo :D).

Penonton hari itu agak sepi. Mungkin karena siang hari dan jam kerja, jadinya nggak banyak yang nonton. Lain ceritanya waktu Mission: Impossible - Rogue Nation tayang. Penontonnya lumayan ramai. Selain karena hari libur, sekuel film ini juga sangat dinanti-nantikan oleh pecinta setia sang Ethan Hunt karena 'Mission Impossible - Ghost Protocol' sendiri tayang empat tahun lalu. Jadi jeda waktunya memang lumayan lama.


***
Di awal adegan Spectre, penonton dibawa ke kota Mexico dimana pada hari itu bertepatan dengan Festival El Dia de Los Muertos (Festival Kematian). Ternyata dari kota inilah James Bond (Daniel Craig) kemudian diarahkan ke petunjuk mengenai organisasi kejahatan misterius yang sebelumnya diselidiki oleh M (Judi Dench).

Secara umum film ini "lumayan" menghibur penonton. Adegan kejar-kejaran mobil, tembak-tembakan, pembunuhan, ledakan gedung, dan sebagainya disajikan dengan luar biasa. Yang menarik dalam film ini adalah munculnya 'Bond woman'. Monica Bellucci yang berperan sebagai Lucia Sciarra---istri seorang mafia bernama Marco Sciarra (Alessandro Cremona) yang dibunuh oleh Bond---berusia 51 tahun saat memerankan tokoh ini. Selain beliau, Lea Seydoux yang berperan sebagai Dr. Madeleine Swann---anak dari Mr. White (Jesper Christensen)---yang juga menjadi 'Bond woman' dalam film ini. Diceritakan bahwa sebelum bunuh diri, Mr. White meminta tolong kepada Bond untuk melindungi anak perempuannya dari orang-orang 'Spectre'. Selain wanita, yang menjadi perhatian penonton tentu saja adalah mobil yang digunakan Bond dan musuhnya saat kejar-kejaran di salah satu adegan.

Satu hal yang menarik dari film-film Bond (dan juga pertanyaan pribadi saya selama ini) adalah setelan sang tokoh yang selalu parlente. Bond selalu digambarkan sebagai agen yang bergaya parlente. Dalam salah satu adegan di dalam kereta api, Bond meminta tolong kepada petugas room service untuk menyetrika setelan jasnya. Dari adegan ini dapat diambil kesimpulan bahwa biarpun Bond selalu dalam adegan 'yang penuh debu dan hal lainnya' dia masih tetap senang untuk berpakaian layaknya seorang pengusaha sukses. Rasanya pasti gerah ya kalo berlarian kesana-kemari dengan setelan lengkap begitu. :D

Sayangnya, menurut saya pribadi akhir film ini kurang jreng jreng jreng. Mungkin karena sang sutradara yang ingin lebih menonjolkan sisi humanis dari seorang James Bond setelah tiga sekuelnya lebih menonjolkan seorang playboy namun kharismatik. Selain itu, adegan yang 'lompat-lompat' antara kota satu dan lainnya akan membuat penonton bingung.

Meski begitu, gelar 'film yang layak untuk dinonton bulan ini' memang pantas disematkan untuk Spectre. Meski belum bisa dipastikan, namun film ini akan menjadi akhir bagi Mr. Craig menjadi James Bond. Selain adegan, yang perlu diperhatikan adalah soundtrack untuk film, dan penyanyi Sam Smith dipilih untuk membawakan lagu ini cukup membuat kamu seakan-akan terhanyut dengan kepedihan yang dirasakan sang tokoh.

Terakhir, teman-teman yang sudah menunggu cukup lama sekuel ini pasti akan menontonnya di bioskop. Tidak ada salahnya untuk mengajak teman dan keluarga kamu sambil menikmati akhir hari setelah bekerja seharian. :)


BPN111115-12.06PM

Festival El Dia de Los Muertos

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fanargiant/4-festival-menarik-yang-ada-di-meksiko_552c031a6ea834b9158b45e8

Kamis, 18 Juni 2015

Balada Gadis Kecil: Dimanakah Peri Pelindungku?

Usiaku menginjak delapan tahun, tetapi aku diperlakukan layaknya gadis berusia delapan belas
Setiap hari, teman setiaku adalah kotoran ayam dan anjing
Mama berdalih bahwa aku harus diajarkan tanggung jawab sedini mungkin agar kelak menjadi "orang"

Mama...
Tak bisakah kau melihat bahwa tubuhku terlalu kecil untuk memikul tanggung jawab itu?
Tak bisakah aku menikmati masa kanak-kanak dengan normal?
Tak bisakah aku diajarkan makna tanggung jawab yang sesuai usiaku?


Usiaku menginjak delapan tahun, tetapi aku diperlakukan layaknya gadis berusia delapan belas
Aku masih terlalu kecil untuk memahami persoalan orang dewasa
Tapi aku dipaksa memahami bahwa kepunyaanku seharusnya menjadi milik mereka


Tuhan...
Dimana peri pelindung yang sering diceritakan sebelum aku tidur?
Tak bisakah ia melihat seberapa parah penderitaan yang kualami?

Tuhan...
Kemana perginya mereka yang mengaku berhati baik?
Tak bisakah mereka sekedar bercerita apa yang kualami---karena aku masih terlalu kecil untuk menjelaskan semuanya?


Dan kini, aku pun telah mencapai batasnya
Meski dengan cara yang keji, aku tetap berterima kasih
Setidaknya surga yang dijanjikan Tuhan bukanlah dongeng pengantar tidur dalam kitab suci


BPN120615 - 1150PM


P.S.: Untuk sang malaikat, hanya ini yang bisa kuberikan. We're born to be fighters. Semoga pelukan Tuhan lebih nyaman dibanding pelukan mereka yang mengaku baik. :')

Selasa, 10 Maret 2015

Cita-cita

Waktu kecil, kita semua pasti punya cita-cita. Dokter, polisi, tentara, insinyur dan segala profesi keren yang disebut cita-cita kita tuliskan dalam kertas diari, kemudian ditempel dalam kamar atau tersimpan dalam laci. Seiring berlalunya waktu, perlahan cita-cita yang kita impikan terlupakan---karena kesibukan yang memang jauh dari yang kita cita-citakan sebelumnya.

Saya sendiri kurang paham mengapa cita-cita itu yang sangat populer di kalangan anak-anak. Mungkin mereka merasa keren melihat jas putih dan stetoskop dilingkarkan di leher dan memeriksa pasien dengan teliti (bagi dokter)---atau mungkin mereka ingin menyuntik orang yang lewat (emang Susan? ), atau mereka takjub bagaimana seorang polisi dengan seragamnya mengatur lalu lintas dan membantu orang-orang yang menyeberang jalan, atau seorang insinyur seperti Pak Habibie yang mampu membuat pesawat terbang.

Saat kecil, cita-cita yang saya impikan adalah menjadi seorang dokter---cita-cita standar yang diimpikan semua anak hingga saat ini. Pelan-pelan saya kemudian menyadari, bahwa untuk menjadi seorang dokter, yang diperlukan adalah kecerdasan otak tingkat tinggi serta biaya yang fantastis. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ‘membunuh’ cita-cita itu, mengganti dengan yang menurut saya lebih memungkinkan untuk dijangkau dari segi biaya dan otak.

***
Pertama kali saya mahir membaca menjelang masuk SD. Yang mengajari saya adalah ibu. Pernah suatu ketika---saat saya belum  mahir membaca---saya membaca “ibu minum susu” karena saya hanya melihat gambar seseorang minum susu ditambah dengan huruf (i), huruf (b), dan huruf (u); sehingga saya berkesimpulan bahwa ibu sedang minum susu hanya melihat dari gambar.

Ketika saya telah mahir membaca, saya pun jadi keranjingan untuk membaca apa saja. Kadang-kadang saya membaca spanduk-spanduk yang bertebaran di sepanjang jalan; membaca koran bekas dari bungkusan cabai, tomat, atau putu la’bu (makanan khas kota Makassar). Saat saya diajak ke kantor ibu, saya pasti semangat. Kantor-kantor---utamanya kantor pemerintahan---biasanya berlangganan koran. Sudah pasti saya akan merasa puas untuk membaca apa saja info yang update. Jika ada teman ibu yang sedang membaca, saya pasti akan jongkok untuk membaca info yang ada di halaman depan (kasian amat yak!). Saat sepi, biasanya saya cepat-cepat memasukkan koran tersebut ke dalam tas ransel---setelah memeriksa halamannya yang sudah lengkap.

Saat di rumah, saya akan meluangkan waktu untuk membaca koran tersebut. Semua bagian dari koran tersebut akan saya baca hingga tuntas. Jika ada kata-kata yang sulit, saya akan mencari maknanya di kamus. Di masa itu belum ada internet, dan hanya segelintir orang yang memiliki komputer.

Kadang-kadang, saya juga sering membaca buku pegangan milik abang saya---yang waktu itu kelas III (tiga) SD. Buku yang sering saya baca pada saat itu adalah buku PPKn dan Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga abang saya lulus dari SD (kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama) dan saya sendiri duduk di kelas IV (empat). Waktu itu, bacaan wajib saya pun bertambah satu, yakni Ilmu Pengetahuan Sosial. Waktu itu, saya sama sekali tidak sadar bahwa kelak hal yang seperti ini berdampak pada kehidupan saya di kemudian hari.

***
Kebiasaan menulis sebenarnya telah tumbuh sejak saya duduk di kelas V (lima). Saya waktu itu menulis di buku harian, dan itu saya lakukan hampir tiap hari. Saya menulis apa saja; tentang kejadian hari itu, apa yang saya rasakan, dan segala hal yang ingin saya capai saat saya dewasa nanti. Pribadi saya memang tertutup, sehingga saya tidak memiliki banyak teman.

Di masa itu, saya juga menyukai serial Detektif Conan. Di hari Minggu, saya pasti akan duduk manis di depan televisi---menunggu acara itu diputar di Indosiar. Begitu saya tahu bahwa versi komiknya ada, saya pun akhirnya mencari di toko buku. Kebiasaan berburu komik Conan ini masih berlanjut hingga saat ini---meski sekarang telah tersedia situs online untuk membaca komik seri terbaru. Dan akhirnya, saya pun memutuskan untuk mengejar cita-cita menjadi seorang penulis atau detektif (atau bisa jadi keduanya: penulis cerita detektif).

***
Satu hal yang patut saya syukuri bahwa kedua orang tua saya---utamanya abah---tidak pernah “menitipkan” obsesi mereka pada kami. Apapun yang ingin kami lakukan, mereka sangat mendukung, karena mereka berprinsip bahwa kami-lah yang akan menjalani, sehingga kami dibebaskan untuk memilih menjadi apa di kemudian hari.

Seringkali, kita mendengar cerita tentang orang tua yang memaksa anaknya untuk memasuki jurusan tertentu, agar kelak mereka bisa menjadi “orang”. Padahal, tanpa mereka sadari hal tersebut membuat anak menjadi tertekan, dan akhirnya membuat mereka layu sebelum berkembang. Saya bukannya menggurui, tapi alangkah baiknya selama kegiatannya positif, sebagai orang tua seharusnya mereka mendukung. Jika anak kita sukses, bukankah nama yang akan pertama kali mereka sebut adalah nama orang tua?

Terakhir, pesan saya untuk teman-teman yang sedang mengejar atau akan menempuh cita-cita; jangan pernah menyerah, sebab jalan akan selalu terbuka bagi mereka yang terus berjuang meraih mimpi.

Keep spirit!!


Balikpapan, 11032015 at 12.48 p.m.

Peristiwa Hukum yang Kurang Menyenangkan

Postingan ini sebetulnya sudah lama, dan pertama kali saya upload lewat Facebook. Monggo disimak.

Mungkin ini juga karena doa saya sama Tuhan, supaya saya bisa menjadi sarjana hukum yang baik. Yah, harapan saya semoga teman-teman tidak mengalami nasib yang sama seperti saya. #amin

Waktu itu tanggal 7 Desember 2012, kurang lebih pukul 04.30 p.m.. Saya habis nonton film Hello Goodbye di Cinema 21 Mall Panakkukang (sendirian). Dan seperti biasa, saya buta arah (lagi). Bayangkan, saya sudah keliling selama 15 menit buat nyari pintu keluar yang ada di lantai satu. Di masa pencarian itulah, saya (apesnya) bertemu dengan salah seorang Sales Promotion Boy (SPB) dari "Oriental Home Living". Saya sudah berusaha mempercepat langkah (lebih tepatnya setengah berlari ), karena saya pikir pasti menawarkan produk (lagi) dan segala tetek bengeknya. Tapi rupanya, dia lebih lihai membaca gestur tubuh saya (yang menampakkan penolakan dengan terang-terangan). Saya pun diajak mampir ke toko tersebut. Sebetulnya sih, saya sudah punya firasat bakal ditipu, tapi toh tetap saja saya penasaran. Saya pikir, mungkin ini bermanfaat bagi nusa dan bangsa Republik Indonesia. #merdeka *nggak nyambung*

Ternyata, waktu itulah dia langsung beraksi. Saya kemudian dijelaskan tentang produknya dengan cepat, tepat, dan efisien (saking cepetnya ngomong, saya nggak bisa mencerna dengan baik apa yang dia bilang). Saya kemudian ditawari suvenir berupa alarm. Sebetulnya saya sudah menampakkan mimik ingin pulang, tapi rupanya nih cowok lihai banget. Dia pun langsung menawarkan kertas dengan sangat cepat---dimana kita disuruh memilih huruf A, B, C, atau D. Saya nggak tahu isinya apa aja, tapi waktu itu saya pilih huruf D. SPB itu langsung menampakkan mimik heran (yang saya semakin yakin kalo itu adalah penipuan berencana). Si SPB tersebut (namanya Erwin) memperlihatkan kepada temannya, kemudian temannya menjelaskan bahwa sepertinya ada kesalahan dalam pengambilan hadiahnya. Harusnya tulisan di huruf tersebut berisi "Anda Kurang Beruntung", bukan VIP. Akhirnya si Erwin itu memutuskan untuk menelepon kantor pusat (dan di sini saya mulai yakin kalo sebenarnya mereka adalah penipu teladan). Saya sudah semakin cuek dan menampakkan sikap nggak bersahabat (padahal dalam hati sudah dumba-dumba gleter ).

Suara musik pun volumenya semakin kencang, ditambah lagi dengan suara karyawannya yang lumayan berisik. Saya pura-pura sibuk ber-SMS ria, padahal saya mencari-cari info seputar Oriental Home Living ini. Dan sialnya, koneksi internet handphone saya sangat lambat dan tidak bersahabat. Saya pun semakin pasrah, dan melongok ke dalam tas export kesayangan. Oke, kalo dia minta duit saya akan bilang uang saya hanya 50 ribu, pikir saya. Tiba-tiba, temannya yang tadi diajak si Erwin ngomong menghampiri saya. Dia tersenyum lebar, dan saya membalasnya dengan senyum kacci'. Si temennya itu (saya lupa namanya siapa) langsung bertanya hal-hal yang semakin membuat saya curiga. Oke oke, kalo dia nanya asli suku mana, tinggal sama siapa, sodaranya berapa orang, kerjaan orang tua, bla bla bla, itu hal yang lumrah kali ya. Tapi kalo sampe nanya, "SUDAH PUNYA PACAR BELUM?" menunjukkan bahwa dia itu kepo. Emang ada koneksi ekuivalen antara PACAR dan PENGAMBILAN HADIAH? Nggak kan? *sambil gigit saputangan, saking marahnya*

Singkat cerita, si Erwin ini ternyata dapet fax dari Jakarta yang menyatakan kalo saya berhak untuk mendapatkan hadiah. Dia pun bertanya apa saya punya kartu kredit berlogo VISA. Saya pun menyerahkan dengan sepenuh hati sambil tersenyum geli. Iya, soalnya saldo saya kan nol rupiah, alias sama sekali nggak ada. Setelah itu, saya ditanya apa berminat untuk membeli salah satu produknya. Dengan cuek, saya pun bilang belum butuh. Iya, ngapain coba saya bawa kompor gas yang harganya puluhan juta itu, sementara di rumah saya juga punya?

Akhirnya, Erwin pun bilang kalo saya bisa bayar DP. Saya pun kasih 50ribu. Tau-taunya, dia ngomong yang lumayan membuat hati saya "cetar membahana".

"Cuma 50ribu? Nggak ada yang lain Mbak? Soalnya kartu kreditnya nggak mencukupi."

Duh, seandainya saya seperti Ran di serial Detektif Conan pasti saya akan menghajar si cowok ini dengan tendangan putar. Saya menggeleng. Iya, duit saya memang cuma segitu, ditambah 100ribu di kantong sebelah.

Akhirnya, setelah 15 menit + 20 menit, saya pun menandatangani sebuah kertas. Intinya sih menyatakan membeli produk, dan katanya kertas itu nggak boleh hilang dan dibawa tanggal 7 Januari 2013.

Dan ketika saya kesana hari ini, SPB yang saya temui bilang kalo pamerannya ditunda (nah, semakin keliatan kan bo'ongnya? ). Saya disuruh kembali tanggal 15 Januari 2013. Tapi, saya memutuskan untuk browsing di Google seputar penipuan semacam ini. Dan iya sih, korbannya lumayan banyak juga.

Terakhir, saran saya buat teman-teman, hati-hati aja. Jangan tertipu sama pesona SPG yang seksi; cantik; unyu; dan sebagainya (buat cowok-cowok nih). Begitu pun buat cewek-cewek, jangan mau tertipu sama pesona SPB yang keren; wangi (a.k.a nggak bau ketek); macho; dan sebagainya. Kalo ditawarin produk, sebaiknya berkelit dengan seratus cara, biar ATM teman-teman tidak terkuras habis gara-gara produk yang tidak bermanfaat.

Salam kemerdekaan.

P.S.: Cerita ini bukan hasil rekayasa atau fiktif belaka. Ini adalah PENGALAMAN PRIBADI saya kawan-kawan!!


Lihat tulisan aslinya di sini.

Rabu, 31 Desember 2014

It's the Final Countdown

Tak terasa, dalam hitungan jam kita akan memasuki tahun 2015. Beragam hal telah dipersiapkan; setumpuk kembang api, aneka penganan untuk disantap, segudang resolusi, dan entah apalagi. Beberapa terlihat antusias, selebihnya mungkin sedang bersedih; tak bisa berkumpul dengan keluarga akibat pekerjaan, sedang berduka karena kehilangan kerabat yang dikasihi, atau karena hal lainnya.

Di tahun ini kita dikejutkan dengan banyak hal. Musibah yang tanpa henti membuat kita sering bertanya; apakah Tuhan sedang marah? Mengapa kita yang sering mengingat-Nya justru ditimpakan musibah, sementara yang ibadahnya bolong-bolong selalu diberikan kemudahan??

Dalam Islam, Allah subhanahu wata'ala telah menjanjikan bahwa segala sesuatu yang terlihat baik di mata kita padahal di dalamnya adalah keburukan, begitu pula sebaliknya. Demikian halnya dengan segala sesuatu yang telah terjadi---entah itu baik atau buruk---agar kita senantiasa mengambil hikmah, betapa kecilnya kita di hadapan-Nya, dan hanya Tuhan-lah satu-satunya tempat kita berserah diri.

Mari kita sambut tahun baru dengan harapan semoga kita menjadi manusia yang berkualitas dan berkuantitas. Dan kepada teman-teman yang sedang dilanda kesulitan, semoga Tuhan memberikan ketabahan.

Amiiiinnn!!!!

Balikpapan, 31 Desember 2013 pukul 05.28 p.m

Sabtu, 13 September 2014

Untukmu, yang Duduk di Seberang Sana (Jawaban untuk 'Janji yang Berat Sebelah')

Untukmu, yang duduk di seberang sana
Janji yang berat sebelah itu hanyalah sebuah alasan
Agar kita senantiasa memiliki waktu bersama
Menikmati bintang dengan kopi yang masih mengeluarkan uap panas
Tanpa handphone, hanya kau dan aku

Untukmu, yang duduk di seberang sana
Janji yang berat sebelah itu hanyalah sebuah alasan
Agar kau tahu, betapa sakitnya wanita jika ia selalu dibiarkan menunggu
Dan ketika waktu yang dijanjikan tiba, kau justru meninggalkannya tanpa perasaan
Namun meninggalkan jejak air mata dan bayangan
Yang tak bisa dihapus dengan sapu tangan merah jambu

Untukmu, yang duduk di seberang sana
Maaf, aku terpaksa membuat janji yang berat sebelah itu
Sore itu, di kafe ini, tempat pertama kali kita bertemu
Untuk mengutarakan perasaanku
Betapa aku mencintaimu, namun aku tak bisa mendampingimu selamanya
Karena aku telah bersamanya
Yang telah menawarkan janji
Janji yang telah kutanyakan ratusan kali padamu
Dan ribuan kali kau jawab tanpa kepastian

Di Bilik Sunyi, 14 September 2014; 12.46 a.m.



Postscript:

1. Lihat postingan aslinya di tautan ini.
2. Untuk puisi 'Janji yang Berat Sebelah', teman-teman bisa klik di sini.