Happy Cat Kaoani

Selasa, 15 Desember 2015

QUANTICO: Mencari Musuh dalam Selimut

Poster Serial TV 'Quantico'
Serialnya baru berakhir Senin malam lalu di AXN. Oke, sebenarnya bukan episode terakhir sih, karena belum diungkap juga siapa teroris sebenarnya. Buat yang penasaran silahkan dipantau tanggal 7 Maret 2016 (lama ya?).

***
Ini merupakan salah satu serial yang populer di Amerika. Awalnya saya kira Quantico ada 'maknanya', tapi setelah browsing, ternyata itu adalah nama sebuah tempat di Virgina, Amerika Serikat.

Quantico sendiri bercerita tentang perekrutan calon agen FBI. Mereka ini dilatih di pangkalan Marine Corps yang letaknya di Quantico. Di serial ini penonton diajak melihat pelatihan mereka yang sangat berat. Mereka dituntut untuk selalu berada 'tujuh langkah' dari musuh. Tujuannya jelas, untuk melindungi Amerika Serikat dari musuh bernama teroris.

Serial ini juga menggambarkan multi-etnis yang direkrut untuk menjadi agen terhebat. Ada Alex Parrish (Priyanka Chopra), sang tokoh utama, yang berlatar belakang India; Nimah dan Raina Amin (Yasmine Al Massri), si kembar yang direkrut Miranda Shaw (Aunjanue Ellis)---direktur program pelatihan---yang dilatih untuk 'menyamarkan diri' sebagai seorang bernama Nimah; Simon Asher (Tate Ellington) yang seorang Yahudi dan lama menetap di Gaza; Shelby Wyatt (Johanna Braddy) yang orang tuanya tewas dalam tragedi 9/11 dan ahli menembak; dan masih banyak lagi.

Masing-masing memiliki agenda tersembunyi untuk memilih menjadi agen FBI. Seperti Natalie Vasquez (Anabelle Acosta), yang menjadi agen karena kenangan buruk di masa lalu dan karenanya ia membuat bekas luka palsu di belakang telinganya. Atau Ryan Booth (Jake McLaughlin) yang ternyata seorang agen FBI yang menyamar untuk memata-matai Alex Parrish, tetapi ia justru jatuh cinta padanya.
***
Bagi saya pribadi, serialnya sangat menarik dan layak ditonton. Serial ini seolah menyindir pemerintah untuk mewaspadai 'pegawai' yang mereka rekrut sendiri sebagai agen hebat agar tidak berubah menjadi 'monster' yang menakutkan. Selain itu, digambarkan pula bagaimana pertemanan yang kita jalin di asrama selama tujuh bulan tidak menjadi dasar untuk tidak mencurigai mereka sebagai tersangka teror. Penonton juga diajak untuk mencermati mereka, sebab semua masih terlihat 'abu-abu'. Masing-masing agen punya sisi tersembunyi yang belum banyak ditemukan oleh yang berwenang.

Dipilihnya Priyanka Chopra sebagai tokoh utama juga menarik, karena sang creator seolah ingin mengatakan bahwa terkadang kaum minoritas sering dituduh melakukan teror hanya berdasar 'bukti di lapangan'. 'Konflik' antara Yahudi-Muslim juga digambarkan melalui tokoh Nimah bersaudara dan Simon. As you knowYasmine ini berdarah Palestina (ayah) dan Mesir (ibu). Selain itu, disinggung pula soal 'agama tertentu' yang memilih melakukan teror sebagai alasan untuk 'memperjuangkan' sesuatu yang mereka yakini kebenarannya.

Sayang, alur cerita yang maju-mundur membuat penonton akan bingung. Jadi saya sarankan agar teman-teman menonton dari awal hingga akhir agar mengerti keseluruhan cerita.

Harapan saya, ke depan Indonesia juga akan membuat film atau drama sejenis. Terus terang, saya sebenarnya sudah bosan dengan cerita agen dari luar negeri. Oke, mungkin sifatnya memang rahasia. Tapi setidaknya bisa memberi kita sedikit gambaran soal aktivitas mereka. Atau jangan-jangan karena sistem keamanan kita yang masih rawan disusupi sehingga kurang pede untuk membuat film atau drama seperti ini?



BPN121615-09.04AM

Jumat, 11 Desember 2015

님아, 그 강을 건너지 마오 (My Love, Don't Cross That River): Cinta yang Sederhana

Bagaimana perasaanmu saat bertemu dan menikah dengan pujaan hati? Terlebih setelah mengorbankan segalanya agar kamu dan pasangan bisa melanjutkan ke tahap yang lebih serius. Bahagia, lega, haru, semuanya pasti campur-aduk.

Menikah berarti menyatukan segalanya. Keluarga, ego, kehidupan, keuangan, dan jiwa. Kelihatannya sederhana, tetapi jika tidak dianggap serius akan menimbulkan konflik. Korbannya akan banyak, tetapi yang lebih dulu merasakan dampak adalah anak-anak dan lingkungan terdekat.

Lalu, bagaimana mewujudkan rumah tangga yang bahagia hingga akhir hayat?

***
Awalnya saya pikir ini film drama khas Korea yang menya-menye. Tetapi setelah sang sutradara, Mo-young Jin, dipilih sebagai tamu kehormatan di Academy Awards, barulah saya ngeh. Rasa penasaran membuat saya akhirnya memutuskan menonton film ini.

Yang menarik adalah film ini merupakan dokumenter yang menggambarkan kehidupan sepasang suami-istri yang memasuki usia senja. Melihat adegan awalnya, kita pasti akan tersenyum. Mereka berdua sudah sepuh tetapi masih 'bertingkah' layaknya 'pasangan muda'. Bercanda, tertawa, menghibur diri masing-masing, saling menggoda; semuanya digambarkan dengan utuh.

Film mencapai klimaks saat sang suami kondisi fisiknya semakin menurun setahun terakhir. Saat anjing kesayangannya mati, sang istri mendadak 'tersadar' waktunya bersama suami tak akan lama lagi. Keinginannya hanya satu: ia ingin pergi bersama suami tercinta sambil menggenggam tangannya yang keriput. Bisakah keinginannya tercapai?

***
Mo-young Jin, sutradara film
Proses syutingnya dilakukan selama 15 bulan di daerah Hoengseoung, Propinsi Gangwon, Korea Selatan. Total biaya produksinya sekitar US$ 110.000 dan mencatat box office dengan nilai US$ 34.3 juta.

Untuk jalan cerita sendiri, saya akui membuat kita terhanyut dan pasti memimpikan hal yang sama. Jangan lupa menyiapkan saputangan, karena di akhir-akhir adegan air mata kita dijamin akan menganak sungai. Lebih keren lagi jika ada bahu yang ditempati bersandar, sayangnya nggak berlaku bagi jomblo. Mungkin bisa aja pake bahu orang lain. :D

Sayangnya, menurut saya banyak adegan yang dipotong. Mungkin agar penonton tidak bosan dan durasinya tidak terlalu lama. Kurangnya foto yang ditampilkan saat mereka muda dan memiliki keluarga besar membuat kita harus menonton seluruhnya agar mengetahui siapa saja bagian dari keluarga Jo.

Menonton dokumenter ini membuat kita lupa akan plot cerita drama Korea umumnya: cinta-cintaan yang berlebihan, konflik yang tak pernah habis dan selalu berkaitan, dan ending yang begitu-begitu saja. Ini adalah realita bagaimana selama 75 tahun (mereka menikah tahun 1938) mereka saling mengisi dan berusaha mempertahankan cinta mereka.

Cocok untuk mereka yang akan, sedang, dan telah menikah.

Trailernya bisa dilihat berikut ini. Subtitle-nya bisa di-download di sini.


RONALDO: Melihat Sisi Lain Kehidupan Sang Megabintang

Poster film Ronaldo
"Di sepakbola aku tak memiliki banyak teman. Orang-orang yang benar-benar kupercaya tak banyak: kakakku, Ricky, Luis... Hampir seluruh waktu kuhabiskan sendirian. Aku senang melakukannya sendiri. Tidur kapan pun aku mau, pergi berenang kapan pun aku mau. Aku sudah seperti ini sejak awal bermain bola..."

"Aku adalah orang yang tertutup. Aku tahu apa yang terbaik bagiku, dan yang terbaik adalah aku pulang, mengasingkan diri dengan dunia luar; media, televisi, sepakbola; karena aku tahu keesokan harinya aku akan kembali lagi ke dunia. Aku lebih suka diam. Aku tak suka merasa ditekan setelah latihan, setelah pertandingan... Aku ingin memasuki duniaku; berada di rumah, bersama orang-orang yang kusukai, bersama anakku dan menenangkan diriku..."
***
Di masa-masa kuliah dulu, teman-teman seangkatan hampir seluruhnya cowok. Mau tak mau, obrolan sehari-hari pasti nggak jauh-jauh dari persoalan cowok-cowok pada umumnya: cewek, rokok, game, *****, dan bola.

Ada dua orang teman yang (masing-masing) penggemar Real Madrid dan Barcelona (baca: icon dari masing-masing tim). Mereka berdua sering sibuk berdiskusi, apalagi saat bigmatch keduanya disiarkan semalam. Esok harinya di saat jam kuliah kosong, mereka pasti sibuk membahas pertandingan semalam. Ujung-ujungnya, persoalannya akan menyerempet ke yang memiliki banyak pemasukan, yang punya banyak sponsor mulai kepala sampai kaki, yang punya jiwa sosial tinggi, dan segala hal lain yang sering bikin saya senyam-senyum---karena masing-masing merasa bahwa tim jagoan (a.k.a pemain favorit mereka masing-masing, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi). Diskusi biasanya berakhir deangan persoalan peraih Ballon d'Or terbanyak.

Mau nggak mau, saya jadi tahu banyak soal kedua tim. Kadang saya iseng memantau lewat media sosial (karena saya nggak kuat begadang) soal pertandingan keduanya; baik saat menjamu tim lain atau keduanya berhadapan langsung. Nggak enak rasanya mereka ngobrol sementara saya hanya jadi kambing congek. Paling nggak bisa mengikuti obrolan mereka, biar kesannya nggak bego-bego amat soal bola.
***
Terus terang, awalnya saya nggak begitu simpatik dengan Ronaldo. Sepele sih alasannya, karena sifatnya yang jerk itu. Meski teman saya (yang fans beratnya itu) sering bilang bahwa yang namanya urusan pribadi nggak perlu dibawa-bawa ke skill, tapi rasanya sulit diterima. Terlebih waktu ada kabar jika ia kini memiliki anak yang ibunya tak jelas. Ugh, rasanya kalo ketemu pengen cakar mukanya yang songong itu.

Pelan-pelan, saya kemudian menyadari bahwa dia juga manusia biasa. Persoalan pribadi sifatnya privasi. Jangan sampai persoalan itu membuat kita buta akan penampilan briliannya di lapangan hijau. Toh, tak ada orang yang tak ingin bertemu dengannya.
***
Ronaldo adalah pekerja keras. Di setiap pertandingan ia selalu berusaha agar timnya memetik kemenangan dan menampilkan performa terbaik. Tetapi di rumah, ia seorang yang penuh kasih sayang pada anak semata wayangnya.

Setidaknya itulah yang ingin digambarkan dalam film semi-dokumenter ini. Film ini sangat saya rekomendasikan bagi mereka yang hanya melihat 'sisi luar' sang megabintang. Mereka tak pernah tahu, di balik kehidupan mewah yang diraih ada pengorbanan besar yang ditempuh.

Jangan harap di film ini akan disuguhi soal gosip-gosip yang selama ini menerpanya. Film ini 'hanya' menyinggung perjalanan karir dan orang-orang yang mengantarkannya hingga mencapai puncak ketenaran. Bagaimana rivalitasnya dengan megabintang Barcelona, Lionel Messi? Benarkah mereka juga 'musuh bebuyutan' di luar lapangan? Apa arti Ballon d'Or baginya? Mampukah dia menjadi orang tua tunggal yang baik? Semuanya akan dijawab dalam film ini.

Sayangnya, di film ini tidak menyinggung soal anak angkatnya di Aceh dan bantuannya untuk Palestina yang sempat jadi perbincangan hangat. Mungkin sang sutradara tak ingin memasukkan 'unsur tertentu' yang membuat pro kontra. Tetapi bagi saya justru akan menambah daya tarik. Sebab ada beberapa yang menganggap hal tersebut dilakukan untuk mencari popularitas---utamanya soal bantuan tersebut.

Oya, di film ini lagu Rihanna muncul sebagai 'selingan'. Kayaknya ini salah satu lagu favoritnya sih. Penasaran? Ini dia.





Trailernya bisa dilihat di bawah ini.


Rabu, 02 Desember 2015

2015 Mnet Asian Music Awards in Hong Kong: Music, Movie, and Food Makes One!

Pagelaran musik terbesar Korea, Mnet Asian Music Awards atau yang biasa disingkat MAMA tahun 2015, baru saja usai. Dan untuk keempat kalinya acara ini diselenggarakan di Hong Kong (tahun 2012 diadakan di Hong Kong Convention and Exhibition Centre, dan tahun 2013-2015 diadakan di AsiaWorld-Expo). Harus gue akui, tata panggung dan lightingnya sekelas acara penghargaan MTV. Seandainya Indonesia punya gedung pertunjukan yang memadai juga ya, gaes...

Masih dengan tema yang sama, acara ini mengajak seluruh penonton di dunia untuk menikmati musik Korea (khususnya) dan Asia (umumnya) tanpa memandang negara. Tidak hanya musik, tetapi makanan dan film merupakan 'bahasa persatuan' bagi penonton di seluruh dunia. Selain hal tersebut, penonton juga diajak untuk mengingat dan peduli terhadap anak-anak dan wanita di seluruh dunia yang tidak bisa bersekolah karena kekurangan biaya.

Red Carpet
Shin A-young, Moon Hee Jun, dan Z.HERA didapuk sebagai pembawa acara untuk sesi ini. Beberapa artis yang gue sempat liat (di tivi) di red carpet adalah Lee Kwang-soo, Park Shin-hye, Song Ho-jun, EXO, Taeyeon SNSD, MONSTA X, U-IE, f(x), HyunA, dan masih banyak lagi (klik di sini).

Untuk special stage kali ini dibuka dengan penampilan dari SEVENTEEN - Adore U. Selanjutnya oleh MONSTA X yang membawakan lagu 'Trespass + Hero', disusul dengan Vivian Koo 'Listen to the Sea' dan terakhir adalah GOT7 'Girls Girls Girls'.






Satu hal yang gue kritik dari acara red carpet ini adalah penampilan MONSTA X, SEVENTEEN, dan GOT7 yang dobel: nyanyi di sesi ini dan dapat jatah di panggung utama. Kalo menurut gue pribadi, bagusnya red carpet diisi dengan artis-artis yang memang bukan pengisi acara utama. Special stage adalah ajang warm up sebelum penonton memasuki hiburan utama. Menampilkan artis utama di red carpet show akan membuat penonton tidak terkejut di stage selanjutnya, lebih-lebih jika penontonnya adalah newbie seperti saya (FYI, gue baru mendengarkan musik-musik K-pop sejak setahun belakangan. Sebelumnya gue buta soal K-pop, karena menurut gue nggak ada gunanya denger lagu yang menurut gue bahasanya lebih ribet untuk diucapkan). Nop.K, VIXX LR, INFINITE, 2PM, adalah beberapa artis yang menurut gue cocok untuk tampil di sesi ini (kalo ada yang mau nambahin silahkan isi di kolom komentar :))

Selasa, 01 Desember 2015

Ayah

Apa yang ada di pikiranmu saat empat huruf itu disebutkan?

Sosok bertanggung jawab, bersedia berkorban untuk keluarga, menyayangi anaknya, perhatian, dan segala hal yang baik melekat pada dirinya. Memang tidak selamanya, tetapi setidaknya itulah gambaran umum yang kita temui dalam cerita dan kehidupan nyata.

Sering kita dengar bukan, kisah heroik tentang ayah? Yang rela menjual ginjal demi membiayai kuliah anaknya, yang mengorbankan nyawa agar anaknya bisa melanjutkan hidup...
Bagaimana dengan ayahmu?

Aku tersenyum getir. Perih rasanya jika harus mengeja kalimat itu. Terlebih, aku menyadari saat umurku menginjak 20-an awal...

***
Masa kecilku bisa dikatakan kurang bahagia. Ibu sering mengasariku secara fisik dan mental, sehingga aku tumbuh menjadi gadis yang pemarah dan kurang percaya diri. Satu-satunya pelarian yang paling membahagiakan bagiku adalah saat berada dalam pelukan ayah atau membaca sebuah cerita dari buku bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka untuk kelas III SD---kepunyaan kakak.

Karena pekerjaan ayah yang sering ke daerah-daerah terpencil, beliau sering meninggalkan kami beberapa minggu. Aku sering merengek untuk ikut, karena aku begitu takut tinggal bersama ibu. Tentu saja hal ini mustahil, sehingga seringkali aku tidak mau menemui ayah saat beliau pamit untuk berangkat.

Ayah bukannya tidak tahu kelakuan ibu. Seringkali beliau menegur, tetapi ibu berdalih bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari pendidikan. Adu mulut pun tidak dapat dihindarkan. Karenanya, beliau memilih menghindari pertengkaran dengan tetap mengawasi kami---terutama aku.

***
Segalanya terlihat baik-baik saja, hingga suatu hari...

Aku telah menyelesaikan kuliah dengan hasil yang memuaskan. Ayah begitu bangga---sampai saat namaku diumumkan untuk menerima penghargaan sebagai wisudawan terbaik, aku melirik ayah yang duduk di kursi khusus orang tua wisudawan---sampai beliau meneteskan air mata haru.

Segala rencana telah kususun dengan matang. Saat kuutarakan niat untuk melanjutkan kuliah magister pada ayah, beliau menjawab ketus,"Mau ambil uang dari mana?!"

Hatiku rasanya sakit sekali. Aku tahu ayah memiliki uang. Beliau memiliki beberapa sawah di kampung, yang jika dijual hasilnya cukup untuk membiayai kuliahku. Lagipula aku yakin bisa memperoleh beasiswa magister, andai ayah mau berkorban sedikiiiiiiittt saja.

Dalam kekecewaan itu, aku memutuskan untuk pergi merantau. Di kota yang jaraknya 612,5 km dari kampung halamanku, aku tinggal dengan bibiku (kakak dari ibu). Dari beliau-lah aku tahu bahwa keluarga besar dari ayahku memang memiliki sifat yang seperti itu. Mereka hanya membanggakan harta mereka yang melimpah (dulunya mereka memang terkenal kaya-raya), tetapi hanya beberapa dari mereka (om, kakek, nenekku---anak dan saudara ayahku) yang berhasil menyelesaikan sekolah hingga tingkat sarjana. Nenek buyutku sangat pelit untuk mengeluarkan uang demi menyelesaikan sekolah. Mereka yang berhasil menyelesaikan sekolah murni karena usaha dan pengorbanan mereka sendiri---tanpa dibantu keluarga.

Lututku lemas. Seketika sekelilingku berubah warna menjadi monokrom, hitam-putih. Gambaran dan kenangan ayah semasa kecil seketika hilang, berganti dengan amarah dan kebencian. Mirisnya, kebenaran ini baru kuketahui saat aku dewasa.

Padahal ayah sedikit-banyak mengerti soal agama. Bukankah dalam kitab suci dikatakan orang-orang berilmu akan ditinggikan derajatnya? Bukan orang yang memiliki harta berlimpah? Apakah ayah melewatkan firman ini? Dan bagaimana mungkin ayah abai akan tanggung jawab? Bukankah beliau menikahi ibu karena ia ingin bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah?

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menjaga jarak. Beliau hingga saat ini terus menghubungiku, tapi aku tak ingin menyapa. Aku terlanjur terluka, dan entah sampai kapan aku bisa menerima beliau kembali...


*)seperti dituturkan Ms. X di kota X via email

Jumat, 20 November 2015

Guruku Panutanku

Foto Pak Muhammad Arham (sumber: Facebook)
Bagi saya, masa SMP merupakan masa terbaik dalam hidup. Saya bersekolah di salah satu madrasah tsanawiyah terbaik di kota Makassar. Dari sanalah, saya belajar untuk menjadi lebih bertanggung jawab sejak dini. Banyak pengalaman yang berkesan, tapi yang ingin saya bagi di sini adalah cerita tentang guru bahasa Arab saya semasa menempuh pendidikan di sekolah tersebut.


***
Sederhana dan sangat dekat dengan anak-anak; itulah kesan pertama saya dengan guru bahasa Arab sekaligus pembina OSIS---sekaligus pembina organisasi ekstrakurikuler sekolah 'Tapak Suci'---waktu itu, Pak Drs. Muhammad Arham. Penampilan beliau (hingga sekarang) tidak pernah berubah: tetap dengan kumis, kacamata, dan rambut cepak ala tentara. Saat beliau ke sekolah, beliau mengendarai motor. Ketika ditanya mengapa lebih memilih motor, padahal jika mau beliau bisa saja membeli mobil, beliau hanya tersenyum dan menjawab pendek, "Kalo pake mobil, kita agak susah buat nyalip saat macet. Motor kan lebih enak (dikendarai)."

Saya masih ingat, di hari pertama beliau mengajar di kelas kami (beliau waktu itu mengajar khusus untuk seluruh anak-anak kelas II), kami semua terkagum-kagum. Beliau sama sekali tidak membawa buku panduan! Hanya absen dan spidol yang terletak di atas meja. Beliau mengawali kelas dengan menyebutkan aturan bahwa buku tulis kami harus disampul berwarna hijau tua. Setelah itu, beliau menulis papan tulis dengan tulisan 'bismillaahirrahmaanirrahiim' selama tiga detik. Beliau menantang kami untuk melakukan hal serupa, dan tidak ada yang sanggup. Beliau bilang, suatu saat kami akan bisa jika terus mencoba. Jangan pernah menyerah, motto pertama yang beliau agungkan dalam kelas di hari pertama itu masih terus saya ingat hingga hari ini.

Cara mengajar beliau pun sangat mudah dipahami. Beliau akan memberikan kami sebuah contoh, kemudian bertanya apakah kami sudah paham dengan membuat sebuah pertanyaan. Jika masih salah, beliau akan mengulangi penjelasannya dengan sangat perlahan. Setelah yakin kami mengerti, beliau menyuruh kami mengerjakan tugas yang ada di buku paket. Metode lain yang beliau gunakan untuk menguji kami adalah Imla'. Jadi beliau akan menyebutkan sebuah kalimat dalam bahasa Arab, kemudian kami disuruh menuliskannya dalam buku tulis. Ini juga salah satu pelajaran favorit saya. Kadang nilai saya sempurna dalam pelajaran ini.

Sekali waktu, beliau menjanjikan kami untuk menonton film 'Sindibad' di lab bahasa. Tentu saja kami senang bukan main. Maklumlah, belum ada Youtube dan kami (atau saya sendiri?) jarang ke bioskop. Di belakang hari, barulah saya tahu bahwa ini salah satu metode belajar beliau untuk mengusir kebosanan kami---yang setiap hari hanya berkutat dengan buku tulis, pulpen dan berada dalam ruang kelas.

Yang menarik adalah saya belum pernah melihat beliau memarahi, apalagi memukul anak muridnya. Kesabaran beliau memang luar biasa. Mungkin ini salah satu alasan kenapa beliau sangat dekat dengan anak didiknya.


Hobi beliau yang lainnya adalah merekam. Dalam setiap kegiatan sekolah, beliau selalu membawa handycam (yang saya lupa mereknya apa) dan merekam setiap kegiatan sekolah. Masa Orientasi Siswa, PORSENI (Pekan Olahraga dan Seni), LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan), dan lainnya semua beliau rekam. Kadang, saat ada siswa yang meminta dokumentasi kegiatan tersebut, beliau akan meminta uang sebesar sepuluh ribu rupiah untuk biaya produksi. Semuanya. Tidak ada satu rupiah pun yang beliau ambil untuk kepentingan pribadinya.

 ***
Kenangan lainnya yang berkesan adalah saat saya kelas II di semester akhir. Pagi itu, selesai upacara bendera di hari Senin, beberapa nama dipanggil---termasuk nama saya---untuk menghadap ke kantor. Waktu itu, saya sudah menduga bahwa ini terkait dengan pelanggaran sekolah yang saya lakukan. Setelah mengumpulkan kami, beliau dan Pak Hafiluddin---wakamad (wakil kepala madrasah) kami---akhirnya menceramahi kami. Setelah itu beliau (sebagai pembina OSIS) kemudian memberi kami secarik kertas yang berisi nama dan sanksi yang kami terima. Hukumannya beragam (mulai membersihkan seluruh toilet sekolah, membersihkan halaman sekolah, dan membersihkan kaca jendela perpustakaan), tapi yang paling pokok adalah kami disuruh menuliskan QS. an-Nuur/24: 30-31 sebanyak 100 kali serta surat panggilan untuk orang tua masing-masing. Reaksi orang tua saya? Marah dan malu, pastinya. Tapi mau bagaimana lagi? Dan karena ini orang tua memotong uang jajan saya selama tiga bulan :'(.

Selama tiga bulan, saya mengerjakan 'tugas' menulis ayat tersebut. Kesannya memang mustahil, tapi saya terus berusaha semaksimal mungkin. Dan kegigihan saya itu membuat saya sadar, tulisan Arab saya semakin bagus menjelang akhir! Awalnya saya tidak begitu memperhatikan, tapi saat melihat lagi tulisan Arab tersebut, saya jadi tertawa geli. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?? Sayang sekali saya tidak mendokumentasikan tulisan tersebut (maklum belum punya handphone, apalagi yang pake kamera). Tapi yang paling saya cemaskan, bagaimana dengan reaksi beliau sendiri? Apakah akan percaya jika ini bukan tulisan orang lain?


Keesokan harinya, saat penyerahan tugas, beliau mengecek kertas tersebut satu per satu. Beliau menatap saya, kemudian menatap kertas itu lagi. Pasti beliau heran dengan tulisan ini. Beliau berkali-kali bertanya, apa saya menyuruh orang lain untuk menuliskan sisanya. Saya pun berkali-kali meyakinkan beliau bahwa semua itu tulisan saya sendiri.


"Kenapa tulisannya bisa berubah begini?" tanya beliau heran.

"Nah, itu dia pak. Saya juga nggak tau. Tapi kalo Bapak mau membuktikan saya bersedia," ujar saya mantap.

Beliau menatap saya, kemudian tersenyum simpul. "Ya sudah kalo begitu," ujarnya singkat.

 ***
Saat saya kelas III SMP, beliau tidak menjabat lagi sebagai pembina OSIS. Kami (teman-teman pengurus di) waktu itu kaget, karena kami merasa beliau terlalu sempurna untuk digantikan oleh siapapun. Kami ramai-ramai mendatangi beliau untuk menanyakan keputusan itu, tapi beliau hanya menjawab singkat, "Jabatan itu ada batasnya. Kita tidak boleh ambisius. Saya sudah lama menjabat, tidak ada salahnya untuk diganti. Dengan begitu memberi kesempatan pada yang lain, siapa tahu mereka lebih baik dari saya."

Luar biasa! Beliau sama sekali tidak keberatan. Dan yang paling penting beliau mengajarkan kami satu hal, bahwa jangan pernah mengejar jabatan. Jabatan hanya amanah, dan suatu saat bisa berakhir. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha semaksimal mungkin ketika amanah datang menghampiri.

Sedih rasanya, tapi itu kenyataan yang harus kami hadapi....

***
Hingga saat ini saya masih berhubungan lewat Facebook dengan beliau (karena saya sekarang berada di luar kota Makassar). Saat bernostalgia, beliau sering meledek saya tentang sanksi yang saya terima. Saya pun hanya tertawa singkat mengingat kekonyolan itu. Tetap saja, hingga saat ini beliau tidak pernah berubah: masih senang mengabadikan momen-momen penting sekolah, dan penampilannya yang masih seperti itu saja.

Terima kasih, Pak Arham. :)


Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" http://lagaligo.org/lomba-menulis

Selasa, 10 November 2015

SPECTRE: Petualangan Terakhir (?) Mencari Cinta Sejati

Poster Film Spectre
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kemarin siang saya menonton bagian keempat dari film James Bond yang dibintangi oleh Daniel Craig. Syukurnya, saya datang tepat waktu. Sebab, saya tiba di bioskop 10 menit sebelum filmnya dimulai. Untungnya antrian di loket tidak terlalu lama. Sengaja saya memilih nonton di siang hari, maklumlah kemana-mana saya menggunakan angkot. Terlalu berbahaya bagi seorang perempuan untuk keluar di malam hari (padahal sih karena jomblo :D).

Penonton hari itu agak sepi. Mungkin karena siang hari dan jam kerja, jadinya nggak banyak yang nonton. Lain ceritanya waktu Mission: Impossible - Rogue Nation tayang. Penontonnya lumayan ramai. Selain karena hari libur, sekuel film ini juga sangat dinanti-nantikan oleh pecinta setia sang Ethan Hunt karena 'Mission Impossible - Ghost Protocol' sendiri tayang empat tahun lalu. Jadi jeda waktunya memang lumayan lama.


***
Di awal adegan Spectre, penonton dibawa ke kota Mexico dimana pada hari itu bertepatan dengan Festival El Dia de Los Muertos (Festival Kematian). Ternyata dari kota inilah James Bond (Daniel Craig) kemudian diarahkan ke petunjuk mengenai organisasi kejahatan misterius yang sebelumnya diselidiki oleh M (Judi Dench).

Secara umum film ini "lumayan" menghibur penonton. Adegan kejar-kejaran mobil, tembak-tembakan, pembunuhan, ledakan gedung, dan sebagainya disajikan dengan luar biasa. Yang menarik dalam film ini adalah munculnya 'Bond woman'. Monica Bellucci yang berperan sebagai Lucia Sciarra---istri seorang mafia bernama Marco Sciarra (Alessandro Cremona) yang dibunuh oleh Bond---berusia 51 tahun saat memerankan tokoh ini. Selain beliau, Lea Seydoux yang berperan sebagai Dr. Madeleine Swann---anak dari Mr. White (Jesper Christensen)---yang juga menjadi 'Bond woman' dalam film ini. Diceritakan bahwa sebelum bunuh diri, Mr. White meminta tolong kepada Bond untuk melindungi anak perempuannya dari orang-orang 'Spectre'. Selain wanita, yang menjadi perhatian penonton tentu saja adalah mobil yang digunakan Bond dan musuhnya saat kejar-kejaran di salah satu adegan.

Satu hal yang menarik dari film-film Bond (dan juga pertanyaan pribadi saya selama ini) adalah setelan sang tokoh yang selalu parlente. Bond selalu digambarkan sebagai agen yang bergaya parlente. Dalam salah satu adegan di dalam kereta api, Bond meminta tolong kepada petugas room service untuk menyetrika setelan jasnya. Dari adegan ini dapat diambil kesimpulan bahwa biarpun Bond selalu dalam adegan 'yang penuh debu dan hal lainnya' dia masih tetap senang untuk berpakaian layaknya seorang pengusaha sukses. Rasanya pasti gerah ya kalo berlarian kesana-kemari dengan setelan lengkap begitu. :D

Sayangnya, menurut saya pribadi akhir film ini kurang jreng jreng jreng. Mungkin karena sang sutradara yang ingin lebih menonjolkan sisi humanis dari seorang James Bond setelah tiga sekuelnya lebih menonjolkan seorang playboy namun kharismatik. Selain itu, adegan yang 'lompat-lompat' antara kota satu dan lainnya akan membuat penonton bingung.

Meski begitu, gelar 'film yang layak untuk dinonton bulan ini' memang pantas disematkan untuk Spectre. Meski belum bisa dipastikan, namun film ini akan menjadi akhir bagi Mr. Craig menjadi James Bond. Selain adegan, yang perlu diperhatikan adalah soundtrack untuk film, dan penyanyi Sam Smith dipilih untuk membawakan lagu ini cukup membuat kamu seakan-akan terhanyut dengan kepedihan yang dirasakan sang tokoh.

Terakhir, teman-teman yang sudah menunggu cukup lama sekuel ini pasti akan menontonnya di bioskop. Tidak ada salahnya untuk mengajak teman dan keluarga kamu sambil menikmati akhir hari setelah bekerja seharian. :)


BPN111115-12.06PM

Festival El Dia de Los Muertos

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fanargiant/4-festival-menarik-yang-ada-di-meksiko_552c031a6ea834b9158b45e8