Happy Cat Kaoani

Selasa, 01 Desember 2015

Ayah

Apa yang ada di pikiranmu saat empat huruf itu disebutkan?

Sosok bertanggung jawab, bersedia berkorban untuk keluarga, menyayangi anaknya, perhatian, dan segala hal yang baik melekat pada dirinya. Memang tidak selamanya, tetapi setidaknya itulah gambaran umum yang kita temui dalam cerita dan kehidupan nyata.

Sering kita dengar bukan, kisah heroik tentang ayah? Yang rela menjual ginjal demi membiayai kuliah anaknya, yang mengorbankan nyawa agar anaknya bisa melanjutkan hidup...
Bagaimana dengan ayahmu?

Aku tersenyum getir. Perih rasanya jika harus mengeja kalimat itu. Terlebih, aku menyadari saat umurku menginjak 20-an awal...

***
Masa kecilku bisa dikatakan kurang bahagia. Ibu sering mengasariku secara fisik dan mental, sehingga aku tumbuh menjadi gadis yang pemarah dan kurang percaya diri. Satu-satunya pelarian yang paling membahagiakan bagiku adalah saat berada dalam pelukan ayah atau membaca sebuah cerita dari buku bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka untuk kelas III SD---kepunyaan kakak.

Karena pekerjaan ayah yang sering ke daerah-daerah terpencil, beliau sering meninggalkan kami beberapa minggu. Aku sering merengek untuk ikut, karena aku begitu takut tinggal bersama ibu. Tentu saja hal ini mustahil, sehingga seringkali aku tidak mau menemui ayah saat beliau pamit untuk berangkat.

Ayah bukannya tidak tahu kelakuan ibu. Seringkali beliau menegur, tetapi ibu berdalih bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari pendidikan. Adu mulut pun tidak dapat dihindarkan. Karenanya, beliau memilih menghindari pertengkaran dengan tetap mengawasi kami---terutama aku.

***
Segalanya terlihat baik-baik saja, hingga suatu hari...

Aku telah menyelesaikan kuliah dengan hasil yang memuaskan. Ayah begitu bangga---sampai saat namaku diumumkan untuk menerima penghargaan sebagai wisudawan terbaik, aku melirik ayah yang duduk di kursi khusus orang tua wisudawan---sampai beliau meneteskan air mata haru.

Segala rencana telah kususun dengan matang. Saat kuutarakan niat untuk melanjutkan kuliah magister pada ayah, beliau menjawab ketus,"Mau ambil uang dari mana?!"

Hatiku rasanya sakit sekali. Aku tahu ayah memiliki uang. Beliau memiliki beberapa sawah di kampung, yang jika dijual hasilnya cukup untuk membiayai kuliahku. Lagipula aku yakin bisa memperoleh beasiswa magister, andai ayah mau berkorban sedikiiiiiiittt saja.

Dalam kekecewaan itu, aku memutuskan untuk pergi merantau. Di kota yang jaraknya 612,5 km dari kampung halamanku, aku tinggal dengan bibiku (kakak dari ibu). Dari beliau-lah aku tahu bahwa keluarga besar dari ayahku memang memiliki sifat yang seperti itu. Mereka hanya membanggakan harta mereka yang melimpah (dulunya mereka memang terkenal kaya-raya), tetapi hanya beberapa dari mereka (om, kakek, nenekku---anak dan saudara ayahku) yang berhasil menyelesaikan sekolah hingga tingkat sarjana. Nenek buyutku sangat pelit untuk mengeluarkan uang demi menyelesaikan sekolah. Mereka yang berhasil menyelesaikan sekolah murni karena usaha dan pengorbanan mereka sendiri---tanpa dibantu keluarga.

Lututku lemas. Seketika sekelilingku berubah warna menjadi monokrom, hitam-putih. Gambaran dan kenangan ayah semasa kecil seketika hilang, berganti dengan amarah dan kebencian. Mirisnya, kebenaran ini baru kuketahui saat aku dewasa.

Padahal ayah sedikit-banyak mengerti soal agama. Bukankah dalam kitab suci dikatakan orang-orang berilmu akan ditinggikan derajatnya? Bukan orang yang memiliki harta berlimpah? Apakah ayah melewatkan firman ini? Dan bagaimana mungkin ayah abai akan tanggung jawab? Bukankah beliau menikahi ibu karena ia ingin bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah?

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menjaga jarak. Beliau hingga saat ini terus menghubungiku, tapi aku tak ingin menyapa. Aku terlanjur terluka, dan entah sampai kapan aku bisa menerima beliau kembali...


*)seperti dituturkan Ms. X di kota X via email

Kode Smiley Untuk Komentar


:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar