Tersebutlah
sebatang pohon Hannoki yang tumbuh di lapangan tempat latihan militer di kota
Hiroshima. Di suatu pagi musim panas, sebuah bom atom dijatuhkan di atas
Hiroshima dan pohon itu pun miring. Pada siang hari lapangan itu dipenuhi
dengan orang-orang yang terluka. Hiroshima terus terbakar hingga malam hari.
Burung-burung yang sayapnya terbakar berdulang berjatuhan dari dahan-dahan si
pohon Hannoki…
Pagi pun
tiba. Satu hari telah berlalu, dan kebanyakan orang-orang di sekelilingku sudah
meninggal. Parit pun kini dipenuhi jasad-jasad yang saling bertumpuk satu sama
lain. Sepanjang malam dalam mimpiku, aku mendengar suara bayi menangis. Tapi
ternyata itu bukan mimpi, benar-benar ada sesosok bayi di dekat akarku. Entah
kapan mereka sampai di situ. Si bayi ada dalam gendongan ibunya. Si ibu memakai
sepatu kanvas dan celana kerja. Tidak kelihatan ada luka di tubuhnya, tapi ada
handuk melilit di kepalanya. Bayi itu menempel di dada ibunya. Kelihatannya
saja si ibu tidak terluka, tapi ternyata ia luka parah di kepala. Nampaknya ia
kesulitan melihat.
"Mii-chan…Mii-chan…kau
Mii-chan kecilku, kan?" ia terus menggumam. Ibu itu pasti meninggalkan
bayi perempuan yang dipanggilnya ‘Mii-chan’ itu di rumah, lalu pergi keluar. Mungkin
tepat saat itu peristiwa mengerikan tadi terjadi. Ibu---yang tidak bisa melihat
dengan sempurna---itu mungkin mencari-cari di halaman rumah mereka dan
beruntung; atau mungkin dia menemukan bayi itu, yang telah diselamatkan orang
lain di rumahnya yang hancur, lalu sambil menggendongnya, ia lari sampai sejauh
ini. Tapi ia tidak bisa melihat jelas wajah bayi ini, dan itu membuatnya
khawatir serta ketakutan. Untungnya wajah si bayi tidak terluka, ada sedikit
saja luka bakar di pinggulnya, dan ia hanya memakai celemek yang lusuh.
Suara ibu
yang memanggil-manggil, "Mii-chan…Mii-chan…" tidak lagi
terdengar. Ia tertidur pulas. Bayinya pun mulai menangis. Ibunya terbangun dan
kembali memanggil-manggil namanya. Perlahan-lahan sang ibu mulai kehilangan
kesadarannya.
Matahari perlahan
meninggi, menyebarkan teriknya yang terasa membakar. Erangan orang-orang yang
tidak bisa bergerak itu terdengar makin keras. Bayi itu tiba-tiba menangis
keras, tapi tidak ada yang menolongnya. Ibunya tidak lagi bergerak.
Payudaranya, yang sedari tadi dihisap bayinya, kini sudah mengeras. Sang ibu
meninggal dengan bayi masih berada di gendongannya.
"Tolong!
Siapa pun yang masih bisa berjalan, tolong kesini…"
Seumur
hidupku, tidak pernah aku melihat kengerian yang seperti ini.
***
Siang itu
menjelang petang. Akhirnya datanglah regu penolong. Tapi saking banyaknya orang
sudah meninggal daripada yang masih hidup, mereka lebih banyak datang untuk
mengambil jasad-jasad itu daripada memberikan pertolongan. Serdadu-serdadu itu
rupanya dari Angkatan Laut. Mereka mengibarkan bendera palang merah kecil di
salah satu dahanku, lalu mendirikan dua tenda besar. Dokter militer memeriksa
mata setiap orang yang tengah terbaring seperti sedang memilih-milih ikan saja.
Hanya mereka masih bernapas yang dibawa ke dalam tenda. Bayi Mii-chan yang
sedang berada di dekat akarku dipisahkan dari mendiang ibunya, dan dibawa ke
tenda. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, aku bisa mendengar suara bayi dari
dalam tenda itu. Setiap kali suara itu terdengar, aku merasa lega, karena Mii-chan
kecil telah diselamatkan.
Setelah
sekitar satu pekan, sebuah kendaraan dengan lambang palang merah datang, dan
bayi itu dibawa pergi bersama orang-orang yang terluka; hanya jasad-jasad tak
bernyawa yang ditinggalkan. Di malam hari suasananya sepi, tapi sepertinya
masih ada korban yang selamat entah dimana, karena sesekali masih terdengar
erangan-erangan pelan. Di siang hari, orang-orang berdatangan dari kota untuk
mencari teman atau kerabatnya. Mereka akan membolak-balik jasad-jasad yang
tertelungkup sambil bergumam, "Bukan dia, ini juga bukan…"
Sekitar akhir
musim panas, nyaris semua daun-daunku mati dan gugur. Tapi aku berusaha keras
untuk bertahan. Lalu di musim semi aku mengeluarkan tunas-tunas kecil, tapi meskipun
tunas itu sempat tumbuh, musim dingin tiba.
Setahun
berlalu, lalu dua tahun…
Lapangan
tempat latihan ini berubah menjadi lahan pertanian. Dimana-mana berdiri
rumah-rumah sementara. Di malam yang panas, tiap kali aku dengar suara bayi
dari rumah-rumah itu, aku teringat pada ibu yang terus bergumam, "Kau
Mii-chan kecilku, kan?" sampai menghembuskan napas terakhir. Tapi
kebanyakan warga yang datang dan tinggal di sini adalah orang-orang yang datang
dari jauh. Tidak ada yang tahu tentang hari yang nahas itu. Tapi tetap saja,
kadang-kadang ada tulang-belulang yang digali dari tanah di sekitar sini, dan orang-orang
pun akan ramai.
Aku sudah
kembali sehat, tumbuh tinggi, dan kuat. Burung-burung berdatangan. Kumbang-kumbang
tanduk panjang juga datang dan membangun sarang di batang pohonku.
***
Beberapa
tahun telah berlalu. Aku dikelilingi oleh bangunan-bangunan apartemen beton.
Sewaktu pembangunan dimulai, kupikir akhirnya aku akan ditebang. Tapi suatu
hari salah seorang pengawas pembangunan datang menengokku dan berkata,
"Dulu orang bilang pohon atau rumput tidak akan tumbuh di Hiroshima selama
75 tahun lagi." Aku jadi bertanya-tanya, apa orang itu kenal denganku---ketika
aku masih berdiri tegak sendiri di lapangan tempat latihan militer itu? Apakah
ia tahu tentang lapangan yang menakutkan di hari nahas itu? Mungkin orang
itu yang membangun taman kecil di sekelilingku. Aku tidak tahu pasti. Tapi
karena itulah aku masih terus bertahan.
Aku sedikit
lebih tinggi dari bangunan apartemen tiga lantai. Setiap hari, aku mendengar
suara-suara yang berbeda. Di musim panas, aku bisa melihat jelas ke dalam rumah-rumah
itu. Di balik jendela-jendela yang bentuknya sama itu, hiduplah bermacam-macam
orang yang bicara tentang hal-hal yang berbeda.
Anak itu. Ah,
iya…aku kan mau bicara tentang anak itu, tapi malah jadi melantur
kemana-mana. Jadi gadis kecil---yang rambutnya ia direlakan untuk dipotong oleh
kumbang tanduk panjang---itu, aku merasa dia itu sebenarnya si Mii-chan kecil
yang diselamatkan dari bawah batang pohonku di hari yang nahas itu. Gadis itu
tinggal di lantai tiga bangunan apartemen---di sebuah kamar bagian paling
timur. Sepertinya mereka satu keluarga yang terdiri dari tiga orang; ayah, ibu,
dan si gadis kecil. Tapi entah kenapa, gadis kecil itu sepertinya lebih banyak
tinggal di rumah. Ia juga tidak memanggil wanita di rumah itu dengan sebutan
‘ibu’, melainkan ‘bibi’. Apa si kecil itu tidak tahu dengan melihat semua batang
dan dahan-dahanku? Pastinya tidak…
Anak
laki-laki itu selalu datang bermain bersama seorang teman sekolahnya.
Keluarganya berjualan sayur, jadi sepulang sekolah ia datang ke apartemen ini
untuk mengantar sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya.
"Selamat
siang, Bu. Saya mengantar lobak daikon pesanannya."
Si anak
laki-laki itu tahu betul kalau Mii-chan tinggal di rumah sendirian. Ia akan
datang ke rumah ini paling akhir dan mengantarkan sayuran dengan mengucapkan
kata-kata tadi.
"Selamat
siang, Bu. Ini lobak daikon pesanannya."
Jawabannya selalu
sama. "Kamu yakin lobak daikon ini tidak busuk?" Gayanya persis
seperti seorang ibu rumah tangga.
Si anak
laki-laki akan menjawab, "Oh tidak, Bu. Lobak ini sangat segar! Silahkan
coba untuk makan malam nanti dan buktikan sendiri."
Lalu keduanya
akan terbahak-bahak bersama. Anak laki-laki itulah yang selalu menemukan
kumbang-kumbang tanduk panjang yang hidup di batang pohonku.
Suatu hari
setelah mengantarkan sayuran, anak laki-laki itu datang dan memanggil,
"Mii-chan… Mii-chan…ayo turun! Aku mau perlihatkan sesuatu yang menarik
untukmu." Anak laki-laki itu memegang seekor kumbang tanduk panjang dengan
titik-titik putih yang masih mengeluarkan bunyinya. Sejak itu, setiap kali ia
datang, anak laki-laki itu akan memanggil turun Mii-chan, lalu membuat kumbang
itu menggigiti rambutnya. Mii-chan awalnya akan menolak, tapi pada akhirnya lalu
mengizinkan beberapa helai rambutnya digigit oleh kumbang itu. Tapi suatu hari,
Mii-chan tidak lagi menolak sekali pun. Anak laki-laki itu---yang selalu berharap
Mii-chan akan menolak dan lari---berkata, "Boleh aku membuat binatang ini
memotong seluruh rambutmu?"
Mii-chan menarik
keras beberapa helai ujung rambutnya dan berkata, "Boleh. Potong semua. Lebih
banyak lagi."
Gadis itu
terlihat lemah---yang belum pernah nampak sebelumnya. Mii-chan menatap anak
laki-laki itu.
"Kau
bodoh, Mii-chan. Ujung-ujungnya, kau nanti akan jadi pendeta!"
Bocah
laki-laki itu menangis. Ia mendorong Mii-chan dan lari pulang tanpa menoleh
sekali pun. Sejak saat itu, si anak laki-laki tukang sayur berhenti datang ke
apartemen itu.
Satu bulan
kemudian, Mii-chan tiba-tiba batuk berdarah karena udara dingin. Ia dibawa
ke rumah sakit dan meninggal dunia…
***
Si anak
laki-laki penjual sayur mulai lagi mengirimkan sayur-sayuran ke apartemen itu
hampir setiap hari. Di jalan pulang, ia akan berhenti di batang pohonku dan
mencari kumbang tanduk panjang. Setiap kali ia menemukan seekor kumbang, ia
akan membantingnya ke tanah sekuat tenaga sampai mati.
Pagi ini
awan putih berarak di atasku. Itu pasti angin musim gugur. Seiring berjalannya
waktu, aku semakin yakin kalau gadis itu pastinya Mii-chan…
Baca bagian pertama di sini.
Baca bagian pertama di sini.